Sapto Hermawan,  Muhammad Rizal

Pendahuluan

Pada hakikatnya hukum darurat (emergency law) bukanlah sesuatu yang “haram” untuk diterbitkan, selama tetap berada pada koridor dan ketentuan hukum yang baik dan benar. Siwu dalam penelitian tahun 2000 menjelaskan bahwa di Indonesia dalam keadaan bahaya negara boleh memberlakukan hukum darurat negara yang mengesampingkan hak-hak sipil dan hak-hak politik untuk sementara, selama tidak mengesampingkan persoalan Hak Asasi Manusia. Hakim U.S, Posner menyebutkan, “A constitution that will not bend will break”. Posner menjelaskan bahwa terdapat kedinamisan yang dibutuhkan untuk diatur dalam menghadapi kondisi-kondisi yang tidak normal dalam konstitusi. Tidak selamanya negara dapat selalu berjalan dalam kondisi normal, di mana seluruh perangkat negara berfungsi baik sesuai desain tata negara ideal. Terdapat situasi-situasi tertentu di mana negara dihadapkan pada kondisi tidak lazim yang memerlukan pendekatan ketatanegaraan yang spesial melalui peraturan keadaan darurat (emergency regulation).

Menurut Rousseau sebagaimana dikutip Carbonneau, pada dasarnya hukum bersifat dinamis.3 Artinya, hukum dapat disesuaikan dengan berbagai kebutuhan dan perkembangan zaman. Hal tersebut relevan dengan keadaan negara yang kadang tidak menentu sehingga dihadapkan pada situasi yang bukan hanya tidak stabil, melainkan juga bahaya atau darurat. Dengan demikian, problematik substantif dan interpretasi menjadi hal yang rentan terjadi dalam produk darurat negara termasuk Dekrit. Dekrit Presiden (selanjutnya disingkat DP) sebagai instrumen hukum darurat negara berlandaskan pada teori darurat negara. Ketentuan ini lebih dikenal dengan istilah staatsnoodrecht atau hukum tata negara darurat. Ketentuan yang memberikan kewenangan subjektif kepada pemimpin negara untuk menentukan status keadaan bahaya dan kedaruratan, sehingga dapat menerbitkan DP sebagai langkah penyelamatan negara. Menurut Sihombing, keadaan darurat (staatsnoodrecht) dalam artian subjektif kedaruratan tata negara menjadi hak bagi Presiden untuk menyatakan adanya bahaya meskipun secara normatif belum terdapat aturan yang tertulis terkait hal tersebut. Dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, Dekrit pernah diterbitkan dalam dua sejarah kepemimpinan nasional, yaitu pada masa Presiden Soekarno dalam Dekrit 5 Juli 1959 dan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid yaitu pada 21 Juli 2001. Kedua Dekrit tersebut pada dasarnya berlandaskan pada ketentuan tidak tertulis, atau yang disebut sebelumnya sebagai teori darurat negara.

Sesuai dengan penjelasan tersebut di atas, bahwa DP secara faktual di Indonesia pernah terbit sebanyak dua kali pada dua masa kepemimpinan yang berbeda. Pada Presiden Soekarno dekrit dipergunakan untuk membubarkan lembaga Konstituante dan mengubah konstitusi (dari awalnya Konstitusi UUDS 1955 kembali menjadi UUD NRI 1945), sedangkan maklumat Presiden Abdurrahman Wahid secara substansial salah satunya berisi pembubaran lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif). Kedua dekrit tersebut pada dasarnya memiliki perbedaan keberhasilan, DP Soekarno berhasil diterapkan bahkan menjadi dasar yang kemudian memicu terbitnya ketentuan tentang memorandum Dewan Perwakilan Rakyat mengenai sumber tertib hukum di Indonesia berupa TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 yang secara substansi juga memuat tentang hirarki urutan peraturan di Republik Indonesia, yang terang menyebutkan bahwa DP tersebut menjadi satu dari sekian sumber tertib hukum di Indonesia (terlegitimasi),11 sedangkan DP Abdurrahman Wahid gagal diterapkan karena tidak memiliki dukungan dari elemen bangsa termasuk legislatif yang berujung pada pemakjulan Presiden Abdurrahman Wahid.

Melanjutkan paragrap di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya Dekrit diterbitkan oleh Presiden dengan tafsir keadaan darurat negara, dan pembuktiannya atau berhasil tidaknya sebuah Dekrit diuji dan dibuktikan dalam penerapan Dekrit yang berdasarkan pada dukungan serta kekuatan politik kepada Presiden yang sedang berkuasa. Konsep Dekrit yang memberikan ruang luas bagi Presiden untuk menafsirkan keadaan bahaya atau keadaan darurat seringkali menjadi peluang politik dan kekuasaan untuk menentukan substansi DP yang luas dan berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Senada dengan yang dijelaskan sebelumnya oleh Sihombing bahwa DP yang berdasarkan pada darurat negara memberi keleluasaan untuk penguasa negara (dalam hal ini: Presiden) sebagai bagian dari subjek hukum tata negara dan badan kenegaraan yang memiliki kewenangan dalam situasi krisis. Jika ada risiko yang nyata, penguasa dimungkinkan untuk menyatakan bahaya.

DP sebagai norma hukum kedaruratan seyogyanya tidak boleh bertentangan dan mengesampingkan prinsip demokrasi. proses demokrasi (selanjutnya disebut demokratisasi) menjadi hal yang sangat penting untuk dijaga sebagai wujud dan keinginan negara memberikan kebebasan bagi setiap warga negara. meskipun pada dasarnya, demokratisasi adalah proses yang terus berkembang, sangat dinamis, dan tidak akan pernah mencapai pada puncaknya, namun demokratisasi yang ideal dapat dilihat ketika telah sampai pada fase transisi dan konsolidasi dengan konsep kebebasan rakyat hingga pembatasan kekuasaan. Penerapan demokrasi dapat dilaksanakan dengan hukum sebagai instrumen penggeraknya, secara ringkasnya demokrasi tanpa hukum sebagai penggerak dan penentu batasan koridor dalam sebuah negara akan memunculkan problematika dan kekacauan. Selaras dengan hal tersebut, Indonesia sebagai negara hukum tentu sangat memerlukan pengendalian kekuasaan melalui hukum (sebagai bagian demokratisasi), Huda menyatakan bahwa demokrasi adalah cara yang paling ideal sebagai pertahanan kendali atas negara hukum, sehingga sangat diperlukan adanya langkah dan strategi ideal dalam menjaga stabilitas demokratisasi pada masa mendatang.

Berdasarkan pada penelusuran akademis dari berbagai penelitian ilmiah sebelumnya terdapat sejumlah tulisan yang memotret tentang DP. Risdiarto yang meneliti dan berfokus pada legalitas DP 5 Juli 1959 serta pengaruhnya pada perkembangan demokrasi. Tulisan ini berkesimpulan bahwa DP baru dapat dikatakan legal, jika telah disetujui secara politik oleh sejumlah alat-alat kelengkapan negara dan menegaskan bahwa Dekrit adalah Produk politik sehingga sangat berpengaruh bagi demokrasi. Ramli yang menulis tentang konstitusionalitas dan perbandingan DP 5 Juli 1959 dengan DP 23 Juli 2001. Menjelaskan bahwa DP Soekarno (5 Juli 1959) konstitusional karena didukung elemen bangsa hingga terbitnya TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 (Memorandum DPR-GR Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia serta Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia). Sedangkan DP Abdurrahman Wahid (23 Juli 2001) inkonstitusional, karena pada hakikatnya Dekrit tersebut hanya “alat” untuk menyelamatkan kekuasaan Abdurrahman Wahid dari jabatan Presiden, terlebih Dekrit tersebut tidak mendapat dukungan dari sejumlah elemen bangsa sehingga gagal diterapkan.

Maciel dalam riset bertajuk legislative best practices during times of emergency menyimpulkan bahwa pada umumnya para pemimpin otokratis telah menyalahgunakan undang-undang darurat untuk sejumlah hal seperti: menekan/membatasi kebebasan dasar warga negara, membatasi lawan politik, mengecilkan ruang sipil, serta menunda pemilihan secara tidak adil. Hal tersebut sangat berdampak negatif pada proses legislatif dan demokrasi, Maciel berpendapat bahwa hukum darurat setidaknya harus memenuhi sejumlah faktor yaitu: harus jelas secara hukum (legalistik), proporsional, tidak diskriminatif, serta cakupan/berlakunya bersifat sementara. Lührmann dan Rooney dalam riset berjudul Autocratization by Decree: States of Emergency and Democratic Decline menjelaskan bahwa keadaan darurat mendorong kemunduran demokrasi. Keadaan darurat juga menghadirkan struktur peluang bagi para pemimpin untuk membongkar institusi demokrasi dan memicu otokratisasi. Lührmann dan Rooney memotret dan mengambil contoh keadaan di Moldova tahun 1992 dan keadaan di Venezuela tahun 1999 yang dengan status darurat negara berdampak pada demokrasi. Kemudian Jinks dalam penelitian tentang The Anatomy of an Institutionalized Emergency: Preventive Detention and Personal Liberty in India mendeksripsikan implikasi keadaan darurat oleh pemerintah setidaknya dalam 3 hal yaitu: negara berpotensi menyalahgunakan konsep darurat negara, melembagakan penahanan bagi lawan politik, dan melanggar hak-hak warga negara. Dari sejumlah penelitian tersebut memiliki objek riset yang serupa yaitu DP dan emergency law, akan tetapi sejumlah contoh tersebut belum menjelaskan secara holistik pengaruh hukum DP dalam demokratisasi bagi sebuah negara dan spesifiknya di Indonesia.

Terkait dengan hal tersebut, sangat menarik untuk melihat contoh dan konsep Dekrit/produk normatif keadaan darurat di sejumlah negara. Sejumlah produk normatif tersebut menjadi ruang kekuasaan untuk bersikap otoriter dan bersikap melampaui batasan normatif yang berlaku. Di India Dekrit memberikan kewenangan luas kepada Perdana Menteri untuk memerintah dengan keputusan yang luas, yang memungkinkan pemilihan umum (pemilu) ditangguhkan dan kebebasan sipil dibatasi. di Mesir, Dekrit bahkan secara substansial memuat pemberhentian Jaksa Agung hingga melakukan referendum penentu konstitusi baru Mesir yang mengamankan jabatan Presiden agar tidak mudah dimakjulkan dalam situasi tertentu. Hal tersebut menerangkan bahwa DP di sejumlah negara juga diberlakukan dengan berpayung pada teori darurat negara dengan tafsir subjektif oleh penguasa negara.

Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa DP adalah langkah instan penyelamatan negara dalam keadaan darurat di satu sisi, namun disisi lain juga sangat berpotensi berakibat pada demokrasi. Substansi dari DP dengan dalih keadaan darurat negara dapat memuat ketentuan yang bersifat extraordinary. Ketentuan tersebut juga mampu melampaui konstitusi, sehingga sangat berpengaruh pada demokrasi yang bertumpu pada kebebasan serta pergantian rutin kekuasaan sebagai bagian dari transisi demokrasi. Ini sesuai dengan penjelasan Dahl yang menyebutkan bahwa demokrasi harus memiliki sejumlah kriteria, yaitu: pengendalian kebijakan pemerintah secara konstitusional, hak berpendapat, dan transparansi. Selaras dengan hal tersebut definisi demokrasi juga dijelaskan Carter secara tepat dan ringkas bahwasanya demokrasi adalah pembatasan kekuasaan.

Batasan pengertian dari konsep demokrasi yang penulis jabarkan dalam tulisan ini berfokus pada prinsip demokrasi seperti yang dikemukakan Dahl yang menyebutkan bahwa hakikat demokrasi yang sesungguhnya berciri diantaranya: adanya kebebasan (termasuk kebebasan pers), adanya pembagian kekuasaan kepada lembaga-lembaga hasil pemilihan umum (tidak sentralisasi), hingga terdapat pemilihan umum yang bebas dan transparan.  Dahl bahkan menjelaskan bahwa demokrasi menegaskan sejumlah kesempatan untuk rakyat agar dapat partisipatif, kesamaan secara politik, hingga pengendalian terhadap kebijakan. Senada dengan hal tersebut, jelas bahwa Mayo juga menerangkan diantara nilai penting dan fundamental dari demokrasi adalah adanya pergantian rutin kekuasaan (pemilihan umun) hingga penghormatan terhadap kebebasan sipil.

Konsep demokrasi yang demikian menjadi sangat penting dan fundamental, karena memiliki titik taut dengan hak masyarakat atas kebebasan dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, sehingga hukum darurat negara sekalipun pada dasarnya tidak boleh bertentangan dengan konsep demokrasi tersebut. Maciel berpendapat bahwa pada umumnya para pemimpin otokratis telah menyalahgunakan undang-undang darurat untuk sejumlah hal seperti: menekan/membatasi kebebasan dasar warga negara, membatasi lawan politik, mengecilkan ruang sipil, serta menunda pemilihan secara tidak adil. Hal tersebut sangat berdampak negatif pada proses legislatif dan demokrasi. kemudian Maciel juga berpandangan bahwa hukum darurat setidaknya harus memenuhi sejumlah faktor yaitu: harus jelas secara hukum (legalistik), proporsional, tidak diskriminatif, serta cakupan/berlakunya bersifat sementara.

Penjelasan tersebut menegaskan bahwa terdapat problematika substantif dan implementatif antara DP sebagai norma darurat negara dengan demokratisasi di berbagai negara termasuk Indonesia. Terlebih jika DP diterbitkan dengan substansi yang mampu mengubah konstitusi hal ini berpotensi merusak demokrasi. Berdalil pada sejumlah uraian singkat tersebut di atas. Isu hukum yang dibangun dalam artikel ini berfokus pada: Apakah lahirnya DP dapat mempengaruhi perkembangan demokratisasi di Indonesia, atau justru sebaliknya? Adapun tujuan penulisan artikel ini yaitu, Pertama: agar mengetahui relasi antara perkembangan demokrasi dan DP dengan memotret dan mengkaji perbandingan beberapa negara, Kedua: untuk mengetahui pengaruh antara Dekrit dan perkembangan demokrasi di Indonesia. Serta Ketiga, artikel ini akan menjabarkan konsep ideal menjaga stabilitas demokrasi dimasa mendatang.

Dalam menjawab dan menguraikan isu hukum tersebut, artikel ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: pertama, latar belakang yang memuat sebab-sebab permasalahan dan relasi antara DP secara konsep dengan demokratisasi. bagian kedua, pembahasan yang akan menguraikan sejumlah paparan seperti contoh konsep Dekrit di sejumlah negara, sejarah DP di Indonesia beserta pengaruhnya terhadap demokrasi, hingga konsep ideal untuk menjaga demokrasi dimasa mendatang beserta formulasi demokrasi yang relevan bagi Negara. Dan bagian ketiga atau terakhir adalah bagian kesimpulan.

Pembahasan

Dekrit Presiden dan Demokrasi di Indonesia

Mendalilkan kepada fakta empiris, Dekrit 5 Juli 1959 berhasil diterapkan dengan dukungan sejumlah elemen bangsa hingga melahirkan ketentuan tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia berupa TAP MPRS No. XX/MPRS/1966,  di mana menegaskan bahwa DP 5 Juli 1959 termasuk dalam tertib hukum. Dalam kerangka menegaskan eksistensi DP tersebut, Pemerintah pada saat itu kemudian mengeluarkan Keppres 150/1959 Nomor 150 Tahun 1959 guna memperkuat legalitas Dekrit. Sementara pada sisi yang sama, DP Abdurrahman Wahid justru gagal diberlakukan karena kurangnya dukungan politik dalam penerapan Dekrit tersebut. Secara harfiah, DP yang diterbitkan tanpa dasar yang jelas juga dapat dikasifikasikan sebagai konvensi ketatanegaraan di Indonesia. Rumokoy mendefinisikan konvensi ketatanegaraan sebagai segenap kebiasaan atau tindakan ketatanegaraan yang bersifat mendasar (dengan materi muatan konstitusi), yang dilakukan dalam penyelenggaraan negara, baik yang belum diatur maupun yang mungkin menyimpang dari konstitusi dan peraturan ketatanegaraan lain, dengan maksud untuk melengkapi atau memperbaiki ketentuan-ketentuan ketatanegaraan yang bersifat mendasar atau sebagai faktor pendinamisasi pelaksanaan konstitusi.

Dicey mengatakan bahwa konvensi ketatanegaraan yang berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun pelanggarannya tidak dapat diadili oleh badan pengadilan. Terkait dengan penjelasan tersebut, Bagir Manan juga menjelaskan konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara, melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi), kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.  Agiwinata menjelaskan lebih rigid bahwa pada dasarnya konvensi ketatanegaraan harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut; Konvensi ketatanegaraan itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan; Kemudian konvensi ketatanegaraan tumbuh, berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik penyelenggaraan negara; serta Konvensi sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaraan terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan.

Penjelasan tersebut jelas mengindikasikan bahwa pada dasarnya konvensi ketatanegaraan adalah kebijakan tidak tertulis yang menjadi dasar pelaksanaan ketatanegaraan dan tidak dapat diadili oleh pengadilan jika terdapat pelanggaran atasnya. konvensi ketatanegaraan diakui sebagai hukum yang tidak tertulis,39 tetapi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif, perlu diketahui terlebih dahulu pandangan dan kriteria kebiasaan yang dapat berubah menjadi hukum kebiasaan itu sendiri. Manan menyimpulkan beberapa kriteria persyaratan kebiasaan yang dapat diterima menjadi hukum oleh pengadilan secara kumulatif adalah (1) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip common law; (3) telah ada untuk jangka waktu yang panjang; Telah dilaksanakan secara damai dan berkelanjutan; (4) dipandang oleh masyarakat sebagai kewajiban; Mempunyai arti dan ruang lingkup tertentu; (5) diakui sebagai sesuatu yang mengikat oleh mereka yang terkena; dan (6) layak, yaitu tidak bertentangan dengan hak dan tidak merugikan atau menimbulkan ketidakadilan bagi (kepentingan) mereka yang berada diluar kebiasaan tersebut.

Sebagai kebiasaan, konvensi ketatanegaraan harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain, (1) harus ada preseden yang timbul berkali-kali; (2) preseden yang timbul karena adanya sebab secara umum dapat dimengerti atau dapat diterima; dan (3) preseden itu karena adanya kondisi politik yang ada.41 Dari sejumlah ketentuan, kriteria, dan tafsir konvensi ketatanegaraan yang telah dijelaskan tersebut, penulis berpandangan bahwa DP secara harfiah dapat dikualifikasikan sebagai konvensi ketatanegaraan (seperti pendapat Bagir Manan), namun demikian ketentuan konvensi ketatanegaraan harus memperhatikan kriteria persyaratan kebiasaan yang dapat diterima menjadi hukum oleh pengadilan42 yang salah atunya menekankan bahwa produk konvensi ketatanegaraan tidak boleh bertentangan dengan hak dan tidak merugikan atau menimbulkan ketidakadilan bagi (kepentingan) mereka yang berada diluar kebiasaan tersebut. Hal ini jelas bersebrangan dengan implementasi DP secara faktual yang mengesampingkan prinsip demokrasi.

DP 5 Juli (sering dikenal dengan Dekrit Soekarno) menjadi dasar Presiden Soekarno menerapkan konsep demokrasi terpimpin di Indonesia, di mana secara lugas sistem demokrasi terpimpin dideklarasikan oleh Presiden Soekarno pada sidang Konstituante 10 November 1956.43 Demokrasi terpimpin adalah kerangka aturan dominasi kekuasaan yang berlangsung dari tahun 1959 hingga 1966, yang dalam konsep ini semua kekuasaan menjadi ranah kepala negara yang kala itu dikuasai oleh Presiden Soekarno. Dengan ciri-ciri pemerintahan demokrasi terpimpin yaitu: dominasi kekuasaan Presiden, tidak berfungsinya lembaga- lembaga tinggi negara, pemahaman komunisme yang berkembang, semakin memberi peranan dari Tentara Nasional Indonesia (saat itu: ABRI) sebagai bagian masyarakat sosial juga sebagai komponen politik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya sistem berbasis demokrasi terpimpin, antara lain secara khusus (a) Badan konstituante gagal dalam menyusun konstitusi yang baru; (b) Presiden Soekarno memberikan DP 5 Juli 1959. Dalam memberikan deklarasi resmi bertujuan menyelamatkan kondisi negara; (c) Munculnya kelompok pemberontak (separatism) yang dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas politik dalam negeri;

(d) Acapkali terjadi pergantian kabinet yang membuat tingkat kepercayaan rakyat menjadi hilang karena program kerja yang banyak dan tidak terealisasi; dan (e) Perkembangan rivalitas di masing-masing kelompok ideologis saat itu.

Dalam sejarah Indonesia, jelas bahwa DP sangat mempengaruhi perkembangan demokrasi. Tahun 1959 saat Dekrit diterbitkan dengan dalih kedaruratan negara, justru membuat lahirnya sebuah konsep demokrasi, yang disebut dengan demokrasi terpimpin. Namun demokrasi terpimpin pada dasarnya adalah sistem yang justru bertolak belakang dengan konsep fundamental demokrasi. Gaffar44 menyebutkan bahwa demokrasi terpimpin pada tahun 1959 memiliki ciri-ciri yaitu: sentralisasi kekuasaan kepada Presiden, melemahkan peran Dewan Perwakilan Rakyat, memberangus kebebasan pers, hingga kaburnya sistem kepartaian dan pemilihan umum. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep dan nilai demokrasi yang sesungguhnya.  Secara legalistik, Yamin menjelaskan bahwa demokrasi terpimpin dipayungi oleh Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/196546 (pengaruh DP 5 Juli) yang kemudian menetapkan demokrasi terpimpin. Oleh Presiden Soekarno dikatakan sebagai demokrasi yang dipimpin secara permusyawaratan perwakilan dan menjadi landasan implementasi demokrasi di Indonesia. Konsep demokrasi terpimpin tahun 1959 (pasca Dekrit 5 Juli 1959) ditentang oleh sejumlah kalangan. Djojowahjono menyebutkan bahwa penolakan (demokrasi terpimpin) karena definisi terpimpin secara redaksional bertolak belakang dengan prinsip murni demokrasi. Demokrasi memiliki syarat mutlak yaitu kebebasan dan pembatasan kekuasaan sedangkan kata terpimpin justru identik dengan sentralisasi kekuasaan. Demokrasi terpimpin (dengan potensi diktatorialnya) akan menuju kearah kemunduran demokrasi.

Dari ringkasan sejarah tersebut dapat dipahami bahwa DP dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia sangat besar pengaruhnya bagi demokrasi. Pada tahun 1959 perkembangan dan proses transisi demokrasi Indonesia terhenti sejak diterbitkannya DP 5 Juli 1959 yang kemudian menjadi dasar terbitnya Ketetapan MPRS No. VIII / MPRS / 196550 tentang pembentukan demokrasi terpimpin yang justru bernafas otoritarianism. Dahl menyebutkan bahwa hakikat demokrasi yang sesungguhnya berciri diantaranya: adanya kebebasan (termasuk kebebasan pers), adanya pembagian kekuasaan kepada lembaga-lembaga hasil pemilihan umum (tidak sentralisasi), hingga terdapat pemilihan umum yang bebas dan transparan. Syarat-syarat demokrasi sebagaimana disebut Dahl tersebut tidak terpenuhi pada periode demokrasi terpimpin yaitu pada rentang tahun 1959 hingga tahun 1966 hal ini kemudian menjadi bukti bahwa DP menjadi penghambat demokrasi.

Dekrit Presiden di India, Venezuela, dan Indonesia

Secara definisi, terdapat sejumlah tafsir tentang arti dan makna demokrasi oleh berbagai kalangan. menurut Linclon konsep fundamental demokrasi dapat dimaknai sebagai suatu kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Mendasarkan penjelasan Pabotinggi, paradigma yang dimiliki pemerintahan adalah otosentrisitas yakni rakyatlah yang harus menjadi kriteria dasar demokrasi atau dalam istilah lain bahwa suara rakyat sama halnya dengan suara Tuhan. Definisi lain juga dijelaskan oleh Budiardjo yang mengemukakan bahwa demokrasi adalah sistem pelimpahan dan/atau perwakilan kekuasaan untuk membuat keputusan yang dilakukan oleh rakyat dalam pemilihan umum kepada eksekutif maupun legislatif. Demokrasi adalah konsep pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat serta dijalankan untuk kehendak dan kepentingan rakyat. Dari definisi tersebut ringkasnya demokrasi adalah konsep yang mengedepankan kepentingan rakyat dengan segala kebebasan dan hak memilih dan dipilih. Senada dengan hal tersebut Schmitter menjelaskan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan dengan penguasa wajib mempertanggung jawabkan apa saja tindakannya kepada setiap warga negara, penguasa dapat bertindak secara langsung setelah melalui hasil kompetisi (hasil pemilu) dan kerjasama dengan wakil-wakil rakyat (legislative).

Selaras dengan penjelasan di atas, Oxford English Dictionary juga mendefinisikan demokrasi yaitu kekuasaan rakyat, bentuk pemerintahan berada pada kedaulatan rakyat secara holistik dan dijalankan langsung oleh rakyat atau oleh pejabat/perwakilan yang dipilih oleh rakyat.57 Dari semua penjelasan tersebut dapat diringkas bahwa, demokrasi pada pokoknya berarti sistem yang menempatkan hak dan kehendak rakyat di atas segalanya atau kedaulatan berada ditangan rakyat. Dan semua tujuan berdemokrasi tersebut dapat terwujud dengan memberi ruang luas bagi rakyat untuk memilih penguasa dan wakil-wakilnya untuk mengurus negara.58 Terkait penjelasan tersebut dapat dimengerti bahwa konsep demokrasi erat kaitannya dengan hak-hak dan kedaulatan berada di tangan rakyat melalui kepemimpinan yang dipilih oleh rakyat (pemilu), hal ini juga mengindikasikan bahwa demokrasi identik dengan kebebasan. Mulai dari kebebasan memilih, menentukan pendapat, hingga kebebasan berekspresi. Dahl bahkan menjelaskan bahwa demokrasi menegaskan sejumlah kesempatan untuk rakyat agar dapat partisipatif, kesamaan secara politik, hingga pengendalian terhadap kebijakan.59 Senada dengan hal tersebut, jelas bahwa Mayo juga menerangkan diantara nilai penting dan fundamental dari demokrasi adalah adanya pergantian rutin kekuasaan (pemilihan umun) hingga penghormatan terhadap kebebasan sipil.60

Dari penjelasan tersebut, titik hubung dengan DP terletak pada point kebebasan dan pergantian kekuasaan. Definisi demokrasi yang demikian (menjunjung nilai kebebasan dan pergantian kekuasaan) jelas bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dasar substansi DP yang dalam praktiknya bermuatan sentralisasi kekuasaan pada salah satu cabang kekuasaan yaitu eksekutif dengan alasan kedaruratan.61 Telusur akademis penulis, menemukan sejumlah potret substansi Dekrit di sejumlah negara di dunia yang bermuatan superioritas kekuasaan dan menjadi penghambat laju perkembangan demokrasi, yaitu:

Pertama: di India, sejarah keadaan darurat India tercatat berlangsung selama 21 bulan pada tahun 1975-1977 ketika Perdana Menteri Indira Gandhi memiliki otoritas penuh sebagai kepala pemerintahan untuk meminta Presiden India menyatakan keadaan darurat yang dinyatakan di seluruh negeri Secara resmi dikeluarkan oleh Presiden Fakhruddin Ali Ahmed berdasarkan Pasal 352 Konstitusi karena “gangguan internal” yang berlaku, darurat berlaku mulai 25 Juni 1975 hingga penarikannya pada 21 Maret 1977.62 Perintah tersebut juga memberikan kewenangan luas kepada Perdana Menteri untuk memerintah dengan keputusan yang luas, yang memungkinkan pemilihan umum (pemilu) ditangguhkan dan kebebasan sipil dibatasi. Selama masa darurat sebagian besar lawan politik Indira Gandhi dipenjara dan pers dibatasi kebebasannya. Bahkan Beberapa pelanggaran hak asasi manusia dilaporkan banyak terjadi, termasuk kampanye sterilisasi paksa massal yang dipelopori oleh Sanjay Gandhi, putra Perdana Menteri. Sehingga alibi keadaan darurat adalah salah satu periode paling kontroversial dalam sejarah hukum India.

Substansi dan kekuatan Dekrit dari kebijakan Darurat Negara di India terletak pada kekuatan luar biasa yang dimiliki Negara menguasai masyarakat tanpa kemauan dan batasan moral di belakangnya64 secara historical, Keputusan untuk memberlakukan keadaan darurat diusulkan oleh Indira Gandhi, disetujui oleh presiden India, dan kemudian diratifikasi oleh kabinet dan parlemen (dari Juli hingga Agustus 1975), berdasarkan alasan bahwa ada ancaman internal dan eksternal yang akan segera terjadi. ke negara bagian India.65 Sejumlah media bahkan menyebutkan bahwasanya keadaan darurat yang diberlakukan secara luas dianggap sebagai era kegelapan dalam demokrasi India.66 DP di India bahkan memberi kewenangan kepada Perdana Menteri Ghandi untuk melakukan penundaan Pemilihan Parlemen dan pemerintah negara bagian. Gandhi dan mayoritas anggota parlementer koalisi dapat mengubah substansi undang-undang negara karena partai kongresnya memiliki mandat yang diperlukan untuk melakukannya mayoritas dua pertiga di parlemen. Bahkan, manakala Perdana Menteri Ghandi menganggap undang-undang yang ada ‘terlalu lambat’, Perdana Menteri meminta Presiden untuk mengeluarkan ‘Ordinances‘ sebuah kekuasaan pembuat hukum pada saat-saat mendesak, digunakan dengan waktu yang singkat sepenuhnya melewati parlemen, memungkinkan Ghandi untuk memerintah dengan Dekrit.

Kedua, di Venezuela, DP menjadi “alat” paling ampuh bagi Presiden untuk berkuasa dengan berlindung di balik status “keadaan darurat” yang ditafsirkan tunggal oleh Presiden. Sebagai contoh: Presiden Venezuela Hugo Chavez beberapa kali mendapatkan kekuasaan eksekutif untuk berkuasa melalui Dekrit, ini bertolak belakang dengan nilai demokrasi yang menghendaki adanya rotasi kekuasaan. Chavez memerintah Venezuela melalui dekret69 kekuasaan Presiden Chavez dengan berdasarkan pada DP tercatat oleh sejarah sebanyak 10 (sepuluh) kali yaitu pada periode: Tahun 2000, 2001, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2010, 2011 dan 2012. Riset Artikel The Guardian bahkan menuliskan bahwa Antara 2004 dan 2006, tidak kurang dari 18 aturan darurat yang diumumkan oleh Chavez dalam bentuk Dekrit70 yang melanggengkan kekuasaan Presiden. Bahkan presiden setelah Chavez, yaitu Nicolas Maduro, beberapa kali berkuasa dan memerintah berdasarkan Dekrit sejak menjadi Presiden pada April 2013. Tercatat bahwa Nicolas Maduro berkuasa di Venezuela berdasarkan Dekrit dari periode antara 19 November 2013 sampai 2016.

Ketiga, di Indonesia, DP Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 menjadi dasar dibubarkannya lembaga Konstituante yang bertugas membentuk konstitusi baru negara Indonesia, Dekrit 5 Juli 1959 juga menjadi dasar pengubahan konstitusi dari UUDS RI 1955 kembali menjadi UUD NRI 1945. 72 Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, di Istana Merdeka mengumumkan DP tentang dibubarkannya lembaga Konstituante hingga pengubahan konstitusi (kembali pada UUD 1945), yang kemudian disusul sekitar dua pekan setelahnya berdasar sidang 22 Juli 1959, serta didukungan oleh Ketua MA Profesor Wirjono Prodjodikoro melalui pendapat hukum tertanggal 11 Juli 1959 yang diikuti dengan keluarnya memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia (berupa: TAP MPRS No. XX/MPRS/1966) yang berisikan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.73 Yang menegaskan bahwa DP 5 Juli 1959 termasuk dalam tertib hukum. Dan negara Indonesia resmi mengubah kontsitusi dari konstitusi UUDS 1955 menjadi kembali pada UUD NRI 1945 (berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 150 Tahun 1959) yang memperkuat legalitas Dekrit tersebut.

Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa substansi DP bertolak belakang dengan prinsip demokrasi, secara garis besar, Sukarna74 mengemukakan bahwa ada beberapa prinsip dari demokrasi yang menjadi pembeda dengan prinsip otoritarian atau kediktatoran. Sejumlah prinsip dalam sistem demokrasi politik tersebut diantaranya adalah: pembagian kekuasaan yang meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; pemerintahan yang konstitusional; pemerintahan atas hukum (kepastian hukum); dan kebijakan yang dibuat penguasa dengan badan perwakilan yang bebas dari intervensi manapun serta jaminan terhadap kebebasan. Sedangkan ciri atau prinsip non demokrasi atau otoritarianism terletak dan dapat diamati dari terdapatnya sentralitas kekuasaan di salah satu cabang kekuasaan, pemerintahan tidak berdasar pada konstitusi, Kebijakan hukum tidak berlandaskan pada prinsip kepastian hukum, tidak terdapat kebebasan bagi warga negara, pemberian kekuasaan kepada pemerintahan secara luas (superioritas kekuasaan), serta tidak adanya perlindungan terhadap Hak asasi manusia. 75

Visualisasi sederhana, silang sengkarut antara Demokrasi dengan konsep Dekrit dalam keadaan darurat Negara dapat dijelaskan melalui tabel berikut:

Tabel 1: Kontradiktif Konsep Demokrasi dengan Dekrit Presiden

Demokrasi                                                Dekrit Presiden

Kriteria-Kebebasan Publik

-Partisipasi Politik

-Pembatasan Kekuasaan

-Subtansi Luas

-Penafsiran Subjektif

-Superioritas Kekuasaan

Konsep-Kebebasan Berpendapat

-Terbatas secara Normatif

-Kontrol Kekuasaan

-Pergantian rutin kekuasaan

-Berdasarkan teori darurat

-Kekuasaan tanpa batas

Tujuan/HasilKebebasan & Pembatasan kekuasaanSuperioritas Kekuasaan & Pengendalian Negara tanpa batas Normatif

Sumber: Bahan sekunder yang diolah, 2021 (Anna Lührmann and Bryan Rooney, “Autocratization by Decree: States of Emergency and Democratic Decline,” Comparative Politics 53, no. 4, 617– 49, 2020. Dan Sørensen, Georg. Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World. Boulder: Co: Westview Press, 1993, hlm 8)

Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa terdapat pertentangan antara nilai demokrasi dengan konsep Dekrit terlebih lagi jika Dekrit belum memiliki landasan dan definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud keadaan darurat serta luasan cakupan substansi DP sebagai norma darurat Negara yang diterbitkan Presiden. Konsep dan muatan DP yang belum terang tafsir keadaan daruratnya menjadi penghalang Demokratisasi dalam sebuah Negara. konsep Demokratisasi yang pada hakikatnya bertumpu pada nilai-nilai kebebasan, pergantian kekuasaan, hingga pembagian kekuasaan (tidak tersentral pada satu cabang kekuasaan) bertentangan dengan penerapan Dekrit secara factual sebagai norma darurat negara. sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusril bahwa secara konstitusional, maupun secara sosiologis, Dekrit tidak memiliki landasan.76

Langkah-Langkah Menjaga Stabilitas Demokrasi pada Masa Mendatang

Demokratisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dijaga sebagai wujud dan keinginan negara memberikan kebebasan bagi setiap warga negara. Meskipun pada dasarnya demokratisasi adalah proses yang terus berkembang, sangat dinamis, dan tidak akan pernah mencapai pada puncaknya.77 Demokratisasi yang ideal dapat dilihat ketika telah sampai pada fase transisi dan konsolidasi dengan konsep kebebasan rakyat hingga pembatasan kekuasaan. Pengimplementasian demokratisasi dapat dilaksanakan dengan hukum sebagai instrument penggeraknya, secara ringkasnya demokrasi tanpa hukum sebagai penggerak dan penentu batasan koridor dalam sebuah negara akan memunculkan problematika dan kekacauan.79 Selaras dengan hal tersebut, Indonesia sebagai negara hukum sehingga sangat perlu ada pengendalian kekuasaan melalui hukum (sebagai bagian demokratisasi). Huda menyatakan bahwa demokrasi adalah cara yang paling ideal sebagai pertahanan kendali atas negara hukum, sehingga sangat diperlukan langkah dan strategi ideal dalam menjaga stabilitas demokratisasi dimasa mendatang.

Terkait dengan menjaga stabilitas demokrasi, sangat penting untuk mengetahui terlebih dahulu proses yang menjadi perjalanan/perkembangan Demokratisasi. Juan Linz menjelaskan bahwa terdapat sejumlah tahapan dalam proses demokrasi yaitu mulai dari liberalisasi, instalasi, hingga konsolidasi.81 Melanjutkan penjelasan Linz tersebut, liberasi adalah salah satu tahapan demokratisasi, namun pada praktiknya liberalisasi dapat dilakukan tanpa Demokrasi. Hal ini berdalih bahwa rakyat belum dapat menjalankan kehidupan “sendiri” sehingga harus diatur terlebih dahulu oleh negara, sebelum hak-hak rakyat boleh dinikmati sebagai hak setiap warga negara. Liberalisasi sebagai tahapan demokratisasi masih terbilang sangat lemah dalam implementasinya, oleh karena Liberalisasi tidak mesti diikuti dengan instalasi demokrasi yang penuh.83 Sorenson bahkan mendefinisikan bahwa liberalisasi pada dasarnya adalah konsep atau system semi demokrasi atau Demokrasi yang terbatas.84 Sedangkan transisi adalah salah satu tahapan demokratisasi85 dan merupakan titik awal perpindahan antara rezim otoritarian menjadi rezim demokratis, secara praktik tahapan transisi diawali dari runtuhnya kekuasaan yang berlangsung lama dan diikuti dengan lahirnya sejumlah lembaga-lembaga yang independen dan lembaga-lembaga pengawasan hukum yang lebih demokratik.86 Konsep transisi demokrasi bercirikan konstelasi politik dan situasi tidak menentu dan penuh ketidakpastian. Penyebab dari hal tersebut ialah karena segala kebijakan transisi tersebut bekerja dalam kondisi perubahan yang tengah terjadi.87 Sehingga transisi demokrasi sangat penting untuk dikawal konsistensi perubahannya dari rezim otoritarian menjadi demokrasi yang sepenuhnya (full democracy).

Konsep atau tahapan selanjutnya, yaitu tahap konsolidasi. Konsolidasi dapat dimaknai sebagai tahapan paling tinggi dalam demokratisasi. sehingga wajar jika konsolidasi dianggap sebagai proses yang jauh lebih panjang dan paling kompleks. Karena konsolidasi merupakan sebuah proses yang meminimalisir peluang kemunduran demokrasi.88 Cakupan konsolidasi yaitu: rutinisasi; stabilisasi; institusionalisasi; hingga legitimasi terhadap sikap yang relevan secara demokrasi. Struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama proses transisi akan diaktualisasikan, dimaksimalkan hingga diinternalisasikan serta ditetapkan keabsahannya dalam tahap konsolidasi. Muara dari tahapan konsolidasi akan membuahkan penetapan sistem demokrasi yang lebih holistik dan kredibel.89 Dari tahapan demokratisasi tersebut, Linz menjelaskan bahwa dalam proses dan tahapan dari demokratisasi, mulai dari proses transisi menjadi konsolidasi. Setidaknya ada lima sasaran utama untuk demokrasi ditahapan konsolidasi yang harus diperhatikan yaitu: Masyarakat politik; Supremasi hukum; Masyarakat sipil; Masyarakat ekonomi; dan Aparatus negara. Kelima point tersebut (konsolidasi demokrasi) saling terhubung dan tertaut.90 Dari penjelasan tersebut, kaitannya dengan penelitian ini jelas menggarisbawahi bahwa proses dan tahapan yang diidamkan oleh negara dalam menjaga stabilitas demokratisasi berada pada tahapan transisi menuju konsolidasi. Secara sederhana implementasi dari tahapan konsolidasi yang sukses dari proses transisi seperti yang diterangkan Juan Linz bertitik tolak pada lima hal yang harus difokuskan, yaitu: kebebasan masyarakat sipil; kebebasan politik; supremasi hukum; aparat negara; dan ekonomi masyarakat. Kelima hal tersebut harus diwujudkan dalam bernegara dan hal tersebut sukar terwujud jika terjadinya sentralisasi kekuasaan pada salah satu cabang kekuasaan negara.

Dari penjelasan dan pemikiran tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya langkah menjaga stabilitas demokrasi dapat diukur dan dimulai pada tahap transisi kemudian konsolidasi.91 Langkah konsolidasi yang efektif dapat dilihat dari sejumlah hal penting diantaranya adalah masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil 92. Hal ini selaras dengan pemikiran Bahmuller93 yang mengidentifikasi bahwa setidaknya ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi demokratisasi dalam suatu negara, yaitu: tingkat perkembangan ekonomi; rasa identitas nasional; dan pengalaman sejarah dan elemen budaya sipil. Lebih jelasnya, Bahmuller94 menjelaskan bahwa pertama; “tingkat perekonomian negara”, bahwa tingkat kemajuan keuangan suatu negara sangat mempengaruhi demokratisasi negara tersebut. Meskipun demikian, sebuah negara yang tergolong sebagai negara miskin tidak berarti bahwa demokratisasi tidak bisa berlangsung, dan sebaliknya tidak berarti bahwa negara kaya merupakan paling demokratis. Namun faktanya, tingkat ekonomi negara sangat penting bagi kelangsungan demokrasi.

Selain itu, kedua,”identitas nasional/karakter masyarakat”, merupakan komponen penting demokratisasi yang dengan teguh menjunjung tinggi terlaksananya pemerintahan kerakyatan suatu negara. terkait pentingnya “karakter masyarakat”, di satu sisi memang mendapat banyak kritik, terutama ketika dikaitkan dengan contoh-contoh patriotisme yang keliru atau pikiran tertutup seperti yang terjadi pada pemerintahan Nazi Jerman dan fascisme Italia yang ternyata tidak menghasilkan demokrasi namun fascisme. 95 Karena pada dasarnya demokrasi itu bersifat “culturally bounded”96 Artinya bahwa demokrasi adalah konsep universal, namun dalam pelaksanaannya kualitas Demokrasi yang inklusif dipengaruhi juga karakter social warga bangsa. Sehingga penerapan konsep di Amerika, Kanada, dan negara-negara barat lainnya mungkin tidak benar-benar diterapkan dalam contoh serupa di negara-negara Asia dan Afrika. Selanjutnya ketiga adalah sejarah dan elemen budaya. Pengalaman sejarah dan elemen budaya memberikan landasan yang kokoh bagi pengembangan sistem demokrasi. Yuniarto97 menjelaskan bahwa bagian dari komponen pengalaman sejarah dan elemen budaya adalah “etika warga negara”. Contoh-contoh keunggulan kewarganegaraan yang dapat ditemukan di Indonesia adalah yang terpancar dari prinsip Pancasila yang meliputi partisipasi warga negara, toleransi, gotong royong, semangat kemasyarakatan dan solidaritas. Semua unsur etika kewarganegaraan itu diyakini akan memperlancar demokratisasi untuk Indonesia yang berdasarkan Pancasila.98

Penjelasan tersebut di atas dipertegas dengan hasil penelitian oleh Putnam99 yang menyebutkan bahwa di daerah yang berciri nilai kewarganegaraan (civic value) ternyata menumbuhkan sikap yang sangat demokratis secara signifikan dan efektif. Selaras dengan faktor nilai kewarganegaraan seperti yang dikemukakan Robert tersebut, Almond dan Verba sebagaimana dikutip Gaffar100 juga berpendapat bahwa budaya kewarganegaraan adalah dasar budaya politik yang membangun demokrasi. Dalam riset dari Almond dan Verba yang dipotret di Inggris, Jerman, Amerika, Meksiko, dan Italia berkesimpulan bahwa negara dengan nilai kewarganegaraan yang tinggi akan menunjang stabilitas demokrasi. Sebaliknya, negara dengan nilai kewarganegaraan rendah akan sulit menunjang demokrasi yang stabil. Denny101 juga menjelaskan bahwa hal lain yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi atau demokratisasi dalam sebuah negara adalah 4 (empat) hal yaitu: paparan media massa; literasi; urbanisasi; dan pendidikan. Hal tersebut akan sangat dipengaruhi oleh kebebasan politik rakyat.

Berdalil dari sejumlah pendapat, pandangan, serta penelitian tersebut. Secara faktual, konsep dan strategi ideal untuk menjaga stabilitas demokrasi dapat diaktualisasikan dengan: pertama, menanamkan budaya dan pemahaman demokrasi kepada setiap warga negara. Untuk itu diperlukan pemahaman demokrasi dengan maksud terwujudnya kehidupan yang demokratis. Menurut Karim, sangat diperlukan kepribadian yang paham akan demokrasi yang meliputi: toleransi; kebebasan; hak politik; dan sebagainya.102 Lebih lanjut, Zamroni103 berpendapat bahwa “demokrasi akan tumbuh secara kuat jika dalam masyarakat tumbuh budaya serta nilai demokrasi seperti nilai toleransi, kebebasan berpendapat, paham tentang keanekaragaman yang berkembang dalam lingkungan masyarakat, hingga menjunjung martabat kemanusiaan, saling menghargai, dan kebersamaan”. Selain daripada itu, Menurut Budiardjo dalam buku Demokrasi dan Amerika Serikat:104 jika tingkat partisipasi politik masyarakat semakin tinggi maka semakin baik derajat sistem demokrasi. Begitu sebaliknya, jika rendahnya kerjasama dan partisipasi politik dipandang sebagai pertanda buruk, karena menyiratkan bahwa warga tidak peduli dengan masalah negara. Hal ini akan berpengaruh pada kekuasaan yang dianggap tidak tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyatnya.

Kedua, perlu terciptanya instrument hukum berkepastian dan berkeadilan yang menjadi payung dan penggerak demokrasi. Suseno105 menyebutkan bahwa ada beberapa ciri hakiki negara demokrasi, diantaranya adalah, prinsip negara hukum (berkepastian dan berkeadilan), pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat, hingga adanya jaminan terhadap hak-hak demokrasi. huda bahkan memformulasikan gagasan bahwa negara yang demokrasi adalah negara yang pemerintahannya terbatas secara normatif dan tidak bersikap sewenang-wenang terhadap warga negaranya.106 Pembatasan kekuasaan dalam hal ini adalah melalui instrument hukum.107 Hal ini dapat diwujudkan dengan memberikan tafsir kedaruratan negara hingga substansi yang boleh diatur secara konseptual dalam norma kedaruratan berupa Dekrit. Kekuasaan negara dibagi sebagaimana patutnya, tujuan dari hal tersebut adalah langkah untuk meminimalisir penyalahgunaan kekuasaan yaitu dengan cara tidak mensentralkan kekuasaan terhadap satu cabang kekuasaan. Perumusan yuridis dan prinsip-prinsip tersebut sejalur dengan prinsip negara hukum108 hal ini kemudian selaras dengan salah satu dari lima arena utama untuk konsolidasi demokrasi yang harus diperhatikan berdasarkan pemikiran Juan linz, salah satu dari lima hal tersebut adalah supremasi hukum (rule of law). 109

Penutup

Dekrit Presiden (DP) dalam sejarah Indonesia pernah terbit pada 5 Juli tahun 1959, substansi DP 1959 sangat superioritas hingga mampu membubarkan lembaga konstituante dan pengubahan konstitusi negara (dari UUDS 1950 menjadi UUD NRI 1945), konsep dekrit yang demikian mempengaruhi demokratisasi di Indonesia karena bertentangan dengan prinsip pembagian kekuasaan yang menjadi salah satu parameter demokrasi. Mencermati perbandingan dan potret substansi DP di negara lain, DP secara substansial, dominan difungsikan ke arah yang sama yaitu sentralistik kekuasaan dan pembatasan kebebasaan politik rakyat. Strategi dalam menjaga demokrasi dimasa mendatang dapat diwujudkan dalam dua hal yatu: menanamkan budaya dan pemahaman demokrasi kepada setiap warga negara, dan kaitannya dengan emergency law perlu terciptanya instrument hukum yang pasti terkait tafsir dan keberlakuan keadaan darurat negara (seperti: undang-undang khusus keadaan darurat negara)

Artikel telah diterbitkan di Jurnal Veritas et Justitia Vol. 8 No. 2 (2022)