Zakki Adlhiyati, Achmad

Pendahuluan

Artikel ini ingin melacak atau menelusuri keadilan dalam regulasi tentang poligami di Indonesia, yaitu yang termaktub dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Dalam membahasnya, artikel ini menggunakan filsafat keadilannya Aristoteles, Thomas Aquinas, dan John Rawls sebagai perspektifnya. Hal ini tidak berarti ketiga filsuf tersebut memang memberi perhatian pada poligami, melainkan ingin menggali prinsip-prinsip keadilan menurut ketiganya untuk selanjutnya dijadikan sebagai perspektif dalam menelaah ada atau tidaknya keadilan dalam poligami. Agar sampai pada kesimpulan ada atau tidaknya keadilan dalam poligami, dalam artikel ini diidentifikasi kedudukan suami-isteri dalam ikatan perkawinan dan alasan-alasan kebolehan poligami menurut Undang-Undang Perkawinan.

Keadilan dan poligami merupakan dua hal yang sejak dahulu  kala menarik untuk diperbincangkan. Poligami adalah sebuah isu yang kontroversial di masyarakat, di sisi lain keadilan adalah kajian yang selalu berkembang dari waktu kewaktu. Meskipun dua hal yang berbeda, dalam poligami sesungguhnya melekat diskursus keadilan. Praktik poligami (poligini) di masyarakat sering membawa dampak sosial khususnya pelanggaran hak bagi perempuan. Laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) menunjukkan bahwa perkawinan poligami sering menyebabkan kekerasan fisik, psikis, tidak diberi nafkah, ditinggalkan suami, diceraikan suami, bahkan mendapatkan ancaman dari istri kedua. Hal tersebut menunjukkan poligami mendorong kekerasan terhadap perempuan.

Di sisi lain UU Perkawinan yang pada dasarnya menganut prinsip monogami memberikan kesempatan secara terbatas untuk dilakukannya poligami. Poligami di sini bersifat terbatas karena ada syarat ketat yang harus dipenuhi ketika laki-laki yang sudah beristri menginginkan poligami. Syarat poligami diatur pada Pasal 5 UU Perkawinan, yaitu izin istri, jaminan pemenuhan keperluan hidup seluruh istri dan anak, dan jaminan untuk adil. Suami yang sudah memenuhi syarat tersebut masih harus mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan. Pasal 4 UU Perkawinan menyatakan, seorang suami dapat melakukan poligami dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan, dan pengadilan dapat mengabulkan permohonan poligami jika istri tidak dapat menjalankan kewajiban- nya; istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan keturunan. Aturan ini berwatak patrilineal, menempatkan posisi laki laki menjadi sangat dominan dan posisi perempuan menjadi krlas kedua (second class). Sebagai kelas kedua, dalam praktiknya posisi perempuan sering menjadi tumpuan kesalahan apabila keluarga tidak harmonis yang berujung pada tindakan poligami. Oleh karena itu konstruksi UU Perkawinan secara keseluruhan menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalam konteks hubungan suami istri tidak sepenuhnya memiliki posisi yang sederajat atau sama.

Dalam kajian filsafat, beberapa teori keadilan telah ditegaskan oleh beberapa filsuf yang mendasarkan pada prinsip persamaan. Beberapa di antaranya adalah Aristoteles, Thomas Aquinas, dan John Rawls. Aristoteles memberikan konsep keadilan melalui persamaan status, persamaan hak dan kewajiban secara proporsional melalui konsep keadilan distributif yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquinas. Selanjutnya John Rawls juga menyatakan bahwa pada dasarnya pada konsep keadilan harus ada yang disebut dengan posisi asali (natural position) yang menempatkan setiap orang sama kedudukan maupun statusnya, sehingga setiap orang mempunyai persamaan hak atas kebebasan dasar.

Dikaitkan dengan konsep keadilan ketiga filsuf di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam artikel ini adalah bagaimanakah konsep keadilan pada perkawinan poligami, dan apakah UU Perka- winan telah secara adil mengaturnya. Beberapa penelitian terdahulu terkait poligami telah dilakukan, di antaranya penelitian oleh Khairani yang menganalisis putusan mahkamah konstitusi Nomor 12/PUU-V/2007 yang menolak permohonan uji materiil ketentuan Pasal poligami (Pasal 3 [1] & [2], Pasal 4 [1] & [2], Pasal 5 [1], Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24 UU Perkawinan). Pemohon judicial review mendalilkan bahwa beberapa ketentuan pasal poligami bertentangan dengan Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, yaitu Pasal 28B (1), 28E (1), 28I (1) & (2), serta 29 (1) & (2). Hakim konstitusi menolak permohonan judicial review dengan pertimbangan pengaturan poligami dalam hukum perkawinan diperlukan untuk menjaga kemaslahatan dan kepentingan umum.2 Artikel Andi Intan Cahyani juga membahas poligami, namun dalam perspektif hukum Islam. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa dalam perspektif hukum Islam juga disyaratkan jaminan keadilan bagi suami yang akan beristri lebih dari satu orang. Adil sendiri di sini meliputi nafkah, tempat tinggal, waktu, dan biaya anak. Artikel Fatimah Zuhrah juga membahas poligami, namun mengaitkannya dengan Kompilasi Hukum Islam. Berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya, artikel ini mengkaji poligami yang dikaitkan dengan konsep keadilan dalam konteks filsafat.

Dalam melacak keadilan dalam regulasi poligami, artikel ini setelah ini akan mengkaji terlebih dahulu filsafat keadilan menurut Aristoteles, Thomas Aquinas, dan John Rawls. Bagian ini penting untuk melihat prinsip-prinsip keadilan yang dikembangkan oleh ketiganya, yang dalam artikel ini dijadikan sebagai perspektifnya. Dengan demikian, kesimpulan apakah dalam regulasi poligami saat ini dijumpai prinsip-prinsip keadilan, sepenuhnya keadilan di sini didasarkan pada ketiga filsuf tersebut. Bagian berikutnya membahas filsafat keadilan dalam poligami. Pada bagian ini diuraikan tentang kedudukan suami dan istri dalam ikatan perkawinan dan syarat-syarat poligami. Uraian tersebut penting untuk melihat apakah dengan demikian terdapat prinsip-prinsip keadilan, sebagaimana diutarakan Aristoteles, Aquinas, dan Rawls.

Filsafat Keadilan Aristoteles, Thomas Aquinas, dan John Rawls

Keadilan merupakan suatu gagasan yang selalu diperdebatkan. Kedudukannya di dalam masyarakat dan negara sangat penting karena pada dasarnya keadilan tidak hanya menyangkut personal seorang individu tetapi juga berhubungan dengan orang lain, dengan masyarakat, dan bahkan dengan negara. Bagaimana seseorang bisa bertindak dengan adil terhadap diri sendiri dan orang lain, tentu tergantung pada perilaku masing-masing. Demikian pula, bagaimana pula suatu negara dapat memberikan keadilan kepada warga negara-nya juga tergantung pada jaminan kesejahteraan, kemanfaatan, dan kebahagiaan yang diberikan kepada warga negaranya. Karena itu, diskursus keadilan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman, sehingga keadilan itu sendiri selalu mengalami perubahan dan tidak bersifat statis. Mulai dari pemikiran filsafat klasik, pertengahan, modern hingga sekarang mempunyai konsep yang berbeda terkait keadilan.

Pada masa klasik, konsep keadilan bermula dari perilaku manu- sia kepada sesama manusia dan juga kepada lingkungan. Plato, salah satu filsuf klasik membagi keadilan dalam konteks individual dan negara. Dalam konteks individual, maka keadilan menurut plato dapat didefinisikan sebagai melakukan tindakan yang merupakan urusannya sendiri tanpa harus mengganggu orang lain (doing one’s own business and not being busybody).6 Namun di sisi lain, antara keadilan individual dan keadilan negara terdapat suatu hubungan yang berkaitan, karena untuk menentukan konsep keadilan indivi- dual, harus ditentukan dulu keadilan dalam konteks negara. Baik itu keadilan individual maupun keadilan negara mendasarkan pada keselarasan atau harmoni. Keadilan ada jika ada harmoni antar unsur-unsur yang membentuk masyarakat, di mana unsur tersebut melakukan peran yang sesuai baginya. Oleh sebab itu seorang penguasa harus mendistribusikan pekerjaan sesuai dengan bakat dan keahlian.

Keadilan dalam konsep Plato sangat dipengaruhi oleh harapan kolektivistik sebagai keharmonisan antar organisme sosial. Oleh sebab itu, tugas harus dilaksanakan oleh setiap anggota negara sesuai dengan kedudukan dan sifat alamiahnya. Keadilan menurut Plato untuk menjawab persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sebagai individu maupun yang dihadapi oleh Negara. Titik keseimbangan antara keadilan individu dan Negara akan menghantarkan kehidupan yang harmoni dan selaras dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Setelah Plato, muncul Aristoteles, yang keadilannya sangat berkaitan dengan moral. Arsititeles menempatkan keadilan sebagai bagian dari kebaikan. Selain itu ia mengembangkan konsep keadilan politik menjadi dua, yaitu natural dan konvensional. Keadilan natural adalah keadilan yang bersifat tetap sehingga cocok untuk semua lapisan masyarakat, sedangkan keadilan konvensional ditetapkan oleh komunitas tertentu untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehing- ga selalu dapat berubah tergantung pada bentuk pemerintahan, sehingga kedudukannya berada dibawah keadilan natural. Selain itu keadilan dapat dikelompokkan menjadi adil dalam arti mengikuti perintah hukum dan adil dalam arti jujur/adil. Dengan kata lain ketidakadilan dapat diartikan sebagai tidak mengikuti hukum dan tidak jujur/tidak adil. Tidak adil/tidak jujur selalu tidak mengikuti hukum, namun disisi lain tidak mengikuti hukum belum berarti tidak adil/tidak jujur. Dengan begitum, hukum menjadi indikator apakah sesuatu hal itu adil atau tidak. Namun perlu digarisbawahi bahwa aturan yang benar adalah penjaga apa yang adil yang mampu menjaga keseimbangan dan keadilan. Kunci keadilan adalah hukum, maka untuk menciptakan keadilan yang dapat diterima masyarakat maka harus disusun aturan hukum yang mencerminkan nilai-nilai keadilan. Pembentuk hukum harus dapat menangkat realitas sosial yang dihadapi oleh masyarakat dan tantangan yang dihadapi oleh Negara.

Aristoteles menganggap bahwa keadilan dapat tercipta ketika kita mematuhi hukum, karena pada dasarnya hukum tercipta demi kebahagiaan masyarakat. Dengan kata lain tindakan yang dilakukan untuk kebahagiaan masyarakat adalah adil. Keadilan dapat tercipta jika tercapai kebahagiaan bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain (masyarakat). Aturan mengajak untuk hidup dalam kesesuaian dengan setiap kebajikan dan melarang hidup dalam keserasian dengan kejahatan. Sesuatu yang menimbulkan kebajikan adalah ukuran taat aturan. Oleh karena itu masyarakat juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai aturan didalam hukum agar prinsip-prinsip keadilan dapat diwujudkan bersama. Perlu digarisbahawi juga bahwa kesengajaan adalah faktor penentu untuk menentukan seseorang itu berlaku adil atau tidak. Kita dapat mengatakan bahwa seseorang bertindak adil atau tidak jika ia melakukan tindakan itu dengan sengaja. Jika suatu tindakan dilakukan dengan tidak sengaja maka hal tersebut tidak termasuk adil melainkan hanya sebuah kebetulan saja. Harus ada niat atau kehendak yang dilakukan dengan pengetahuan penuh dari seseorang untuk berlaku adil. Dalam konteks pengelolaan perusahaan, maka kerugian yang dialami karena ketidaktahuan adalah kesalahan. Kerugian muncul sebagai suatu hal yang tidak diperkirakan, namun kerugian yang terjadi secara berlawanan dengan harapan ia termasuk pada kecelakaan, ada niat tetapi hasilnya berbeda dengan yang diharapkan. Jika kerugian terjadi dengan pengetahuan penuh dan tanpa pertimbangan terlebih dahulu maka ini termasuk tidak adil.

Aristoteles menyebut keadilan sebagai kebajikan atau keutamaan yang lengkap, keutamaan yang sempurna dalam hubungannya dengan orang di sekitar. Hal demikian dikarenakan keadilan dapat digunakan untuk dirinya sendiri dan juga dalam berhubungan dengan orang lain, dengan kata lain ada manfaat bagi orang lain. Nilai-nilai kebajikan ini harus terinternalisasi sebagai sikap hidup dan perilaku setiap individu-individu yang akhirnya terbentuk sebuah perilaku kebajikan dalam masyarakat. Dalam lingkup yang  lebih besar, kebajikan individu ini akan mempengaruhi kebajikan negara dalam tata kelola kehidupan bersama. Dalam kaitan ini, Aristoteles menyebutkan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang mengambil lebih banyak dari bagiannya dan mementingkan diri sendiri. Orang yang mengambil terlalu banyak untuk dirinya sendiri adalah orang yang lalim.

Artistoteles menempatkan keadilan sebagai pembagian sesuai dengan proporsi atau perimbangan. Ia kemudian membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan distributif (iustitia distributive) dan keadilan remedial atau korektif. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa sesuai kedudukannya. Pembagian proporsi yang sama akan diberikan kepada orang-orang yang sama, sebaliknya orang yang tidak sama tentu akan mendapatkan pembagian yang berbeda, sehingga semua orang diberlakukan sama untuk hal yang sama dan diperlakukan berbeda untuk hal yang berbeda.18 Termasuk pada keadilan distributif adalah pembagian hak dan kewa- jiban sesuai dengan proporsinya. Keadilan distributif pada dasar- nya merupakan pedoman moral yang paling cocok digunakan untuk proses politik terkait pembagian keuntungan dan beban di masyarakat. Meskipun memang tidak menutup kemungkinan teori keadilan ini digunakan untuk menganalisis isu lain. Di sisi lain, keadilan corrective yang mempunyai pengertian sama dengan keadilan komutatif mendasarkan pada transaksi baik yang dilakukan secara sukarela atau tidak yang terjadi pada ranah hukum privat.

Keadilan korektif menghendaki adanya penggantian kerugian atau pemulihan pada keadaan seperti semula sebagai sebuah sarana untuk menyeimbangkan ketidakseimbangan karena ketidakadilan. Oleh sebab itu pada konsep keadilan korektif ini berlaku: penerapan hukuman akan menebus kejahatan; restitution akan menebus kerugian akibat wanprestasi; dan pemulihan kerugian atau kerusakan ekonimi melalui tindakan yang menguntungkan.

Konsep keadilan korektif ini menjadi dasar pertimbangan lahirnya tanggung gugat kepada orang lain. Dalam ranah hukum perdata, maka setiap tindakan yang merugikan orang lain karena kelalaian atau kesengajaannya dapat menjadialasanuntuk diajukannya gugatan. Oleh sebab itu konsep keadilan korektif ini sangat berkaitan dengan gugatan perdata. Dalam konsep keadilan korektif, keadilan menjadi jalan tengah antara kehilangan dan tambahan. Hakim menjadi pilihan ketika terjadi persoalan, karena hakim diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan melalui putusannya yang adil. Tindakan adil merupakan jalan tengah di antara bertindak tidak adil dengan menderita ketidakadilan.

Konsep keadilan Aristoteles dikembangkan oleh Thomas Aquinas yang masih merupakan filsuf hukum alam. Besar dalam lingkungan gereja menjadikan pemikirannya sangat terpengaruhi oleh religiusitas Kristiani. Konsep pemikirannya masih menghu- bungkan keadilan dengan moral dan etik. Hal ini terbukti dengan titik fokus pemikirannya yang lebih condong pada tercapainya kepentingan umum dalam sebuah masyarakat daripada validitas sebuah peraturan. Menurut Aquinas, keadilan adalah salah satu dari empat keutamaan pokok dalam hidup selain kesederhanaan, keteguhan, dan kebijaksanaan. Keutamaan itu sendiri didefinisikan oleh Aquinas sebagai sikap hati yang mantap untuk bertindak baik dan menolak keburukan atau kejahatan. Sikap hati dapat terbentuk melalui kebiasaan, sehingga harus ada pembiaaan untuk melakukan perbuatan baik sehingga keutamaan dapat tercapai. Keutamaan ini oleh Aquinas sangat berhubungan dengan tiga hal, yaitu akal budi, emosi dan kehendak untuk melakukan. Oleh sebab itu untuk melaksanakan keadilan juga akan tergantung pada adanya akal budi, emosi, dan niat untuk melaksanakannya. Keutamaan yang dilaksanakan untuk kebaikan pada akhirnya berhubungan dengan keadilan.

Aquinas membagi konsep keadilan menjadi dua, yaitu keadilan umum dan khusus. Konsep keadilan umum berkaitan dengan relasi antar sesama manusia dengan memberikan apa yang menjadi haknya. Tujuan dari keadilan adalah kebaikan umum (bonum comune). Di sisi lain konsep keadilan khusus dibagi menjadi keadilan distributif (justitia distributiva), keadilan komutatif (justitia commutativa), dan keadilan vindikatif (justitia vindivativa). Keadilan distributif didasarkan pada pembagian berdasarkan jasa atau hak masing- masing. Keadilan distributif mengatur hubungan antar masyarakat atau hubungan antara negara dan individu sebagai bagian masyarakat. Keadilan distributif membicarakan bagaimana pembagian hak dan kewajiban secara adil dan proporsional sesuai dengen perannya dalam masyarakat. Konsep keadilan distributif yang digagas Aquinas ini pada dasarnya adalah turunan dari teori keadilan distributif yang digagas oleh Aristoteles melalui pembagian hak dan kewajiban sesuai dengan proporsinya. Selanjutnya keadilan komutatif ialah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempe- dulikan jasa masing-masing. Keadilan komutatif lebih menonjolkan hubungan timbal balik melalui pertukaran (exchange) antara dua individu. Sedangkan keadilan vindikatif lebih mengarah kepada pembalasan atas tindak pidana melalui hukuman atau ganti kerugian yang sesuai.

Konsep persamaan pada keadilan juga diutarakan oleh John Rawls yang terkenal dengan justice as fairness. Gagasan keadilan menurut Rawls adalah kesejahteraan bagi seluruh kelompok dalam masyarakat. Keadilan adalah kebaikan atas institusi sosial, meskipun demikian kebaikan bagi masyarakat tidak boleh melanggar keadilan seorang individu, khususnya masyarakat lemah. Rawls mengutarakan bahwa pada konsep keadilan terdiri dari dua unsur, yaitu posisi asali (original posistion) dan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance). Rawls menggambarkan adanya posisi asali bagi setiap orang dalam masyarakat, di mana setiap orang mempunyai posisi yang sama, tidak ada perbedaan pangkat, status, kekuatan ataupun kemampuan, sehingga setiap orang bisa membuat kesepakatan dengan orang lain secara seimbang. Posisi asali ini bertumpu pada kondisi yang disebut dengan equilibrium reflektif yang didasarkan pada nilai kebebasan, rasionalitas, persamaan yang digunakan untuk mengatur struktur dasar masyarakat.

Negara menjadi salah satu unsur penting tegaknya keadilan. Keadilan dapat tercapai jika, pertama, negara menegakkan asas keadilan dengan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk mendapatkan kebebasan dasar. Kedua, negara memberikan pengaturan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi sehingga memberikan manfaat kepada yang tidak beruntung, selain juga dibukanya peluang agar posisi-posisi atau jabatan-jabatan dibuka untuk semua orang, sehingga ada kesempatan yang adil. Pada poin pertama maka pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan yang seluas-luasnya (equal liberty principle), sebagai contoh setiap orang mempunyai kebebasan yang sama dalam berpolitik yang tercantum dalam hak berpolitik, kebebasan beragama, dan kebebasan dalam hak-hak yang lain. Sedangkan pada poin kedua berlandaskan pada ketidaksamaan harus ada kontrol dari negara.

Di sisi lain, selubung ketidaktahuan menutup fakta setiap orang tentang keadaannya atas posisi sosial sehingga menutupi konsep keadilan sosial yang sedang berkembang. Melalui posisi asali dan selubung ketidaktahuan Rawls mengutarakan apa yang disebut dengan keadilan dalam konsep kesamaan yang adil (justice as fairness).

Konsep keadilan telah banyak mendapat kritikan salah satunya dari Amartya Sen yang menganggap bahwa konsep keadilan Rawls terbatas kepada kedudukan seseorang sebagai warga negara sehingga bersifat imparsial tertutup. Keadilan dalam konsep Rawls merupakan konsep keadilan yang dapat diterapkan pada negara-negara yang berpegang pada prinsip egaliter-liberal yang memang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Indonesia sendiri pada dasarnya bukan negara liberal meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai liberalisme merasuki perilaku kehidupan kita.

Melacak Keadilan dalam Regulasi Poligami dari Perspektif Filsafat Arsitoteles, Thomas Aquinas, dan John Rawls

Nilai keadilan yang diutarakan oleh ketiga filsuf pada bagian sebelumnya pada dasarnya merupakan prinsip keadilan dalam perspektif publik. Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa dalam hal perkawinan pun pada dasarnya mengandung unsur publik di mana negara perlu ikut serta mengatur hal ikhwal perkawinan ini. Dari ketiga pemikiran tersebut Aristoteles secara eksplisit menyebut konsep keadilan dalam pengaturan hak dan kewajiban suami- istri, dengan mengatakan adil antara hubungan suami-istri adalah ketika suami dan istri berbagi hal yang sama. Konsep keadilan dalam hubungan suami istri tersebut menjadi dasar bahwa nilai keadilan sebagai persamaan kedudukan dapat pula digunakan untuk menganalisis keadilan dalam poligami.

Dengan mengingat konsep keadilan distributif yang dicetuskan oleh Aristoteles dan juga konsep persamaan hak melalui posisi asali kedudukan yang sama antara suami dan istri, membawa konsekuensi kesamaan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Regulasi hukum nasional tentang perkawinan sebagaimana termaktub pada Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) mengakui persamaan kedudukan antara suami dan istri dalam perkawinan. Pasal 30 UU Perkawinan menyebutkan bahwa baik itu suami maupun istri mempunyai kewajiban yang sama dalam rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pasal 31 ayat (1) juga secara eksplisit menyebutkan hak dan kedudukan suami dan istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Keduanya, suami dan istri, berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat [2]). Suami dan istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pasal 33).

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa UU Perkawinan memberikan bangunan kesederajatan antara suami dan istri dalam menjalin ikatan hubungan perkawinan. Posisi suami dan istri diletakkan dalam posisi yang sama, namun dalam ketentuan pasal yang lain justru ditemukan rumusan pasal yang tidak mendukung terwujudkan kesederajatan kedudukan hukum antara seorang suami dan istri. Sebagai contoh, Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan, “suami wajib melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Di sisi lain, Pasal 34 ayat (2) menyebutkan, “istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”.

Rumusan Pasal tersebut menunjukkan inkonsistensi dalam UU Perkawinan jika dibandingkan dengan ketentuan pasal yang lain. Di satu sisi UU Perkawinan mengakui adanya kesetaraan dan keseimbangan kedudukan antara suami istri, namun di sisi lain UU Perkawinan membedakan peran dan kedudukan antara suami dan istri. Pasal 31 ayat (1) mengakui kesetaraan antara suami dan istri karena di situ disebutkan bahwa suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menegakkan rumah tangga, kedudukan antara keduanya juga sama, istri tidaklah mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada suami dan begitu pula sebaliknya. Baik suami maupun istri mempunyai hak untuk melakukan perbuatan hukum. Keduanya mempunyai kewajiban untuk saling menghormati, saling setia dan saling hormat menghormati. Namun di sisi lain pasal 34 ayat (1) memberikan perbedaan peran antara suami dan istri. Suami mempunyai kewajiban mencari nafkah, sedangkan kewajiban istri terletak pada urusan domestik rumah tangga. Istri bertanggung jawab atas kebersihan rumah, mengatur ketersediaan makanan untuk keluarga, dan mengurus anak.

Penempatan peran yang berbeda itu tentu menimbulkan pertanyaan, apakah dengan begitu suami tidak mempunyai kewajiban untuk mengurus rumah tangga. Demikian juga, bukankah suami mempunyai kewajiban untuk membesarkan anak. Pada tataran ini maka terlihat ketidaksetaraan peran antara suami dan istri yang mengarah kepada ketidakadilan. Desain UU Perkawinan yang tidak sepenuhnya memberikan posisi kesetaraan dan kesederajatan kepada seorang suami atau istri tidak muncul di ruang hampa. Hal ini dapat dilihat dalam situasi hukum dan kondisi sosial masyarakat pada saat dibentuknya UU Perkawinan. Perlu diketahui bahwa terbentuknya hukum di Indonesia dipengaruhi oleh hukum Eropa, hukum Islam, dan hukum adat. Dalam konteks UU Perkawinan, maka hal ini dapat dilihat lebih nyata bagaimana UU Perkawinan dibentuk adalah hasil dialektika dan interaksi tiga hukum tersebut, dan nampaknya hukum agama lebih memiliki pengarus yang lebih dalam merumuskan materi muatannya. Hal ini didukung oleh kondisi sosial masyarakat (hukum adat) yang mayoritas memiliki paham patriarki sehingga hal  ini juga mempengaruhi paradigma penyusun UU dalam merumuskan materi muatannya. Seiring dengan perkembangan zaman, maka diskursus relasi atau hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam perikehidupan mengalami perkembangan cara berpikir, tidak terkecuali mengenai bagaimana memandang masalah hubungan perkawinan.

Perkembangan sosial masyarakat menunjukkan bahwa istri banyak yang memilih untuk bekerja dan beraktivitas di luar rumah, dan di sisi lain tidak jarang suami ikut bertanggung jawab dalam urusan domestik keluarga. Hal ini berarti ketentuan tentang peran suami dan istri jelas tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Karena itu timbul pertanyaan, apakah dengan begitu UU Perkawinan masih perlu membedakan peran antara suami dan istri dalam perkawinan jika dalam perkembangannya sudah terjadi perubahan peran antara suami dan istri dalam perkawinan, dan apakah tidak seharusnya sebuah undang-undang dapat mengikuti perkembangan zaman atau kalau bisa malah bersifat futuristik.

Inkonsistensi pengaturan dalam UU Perkainan juga muncul dalam pengaturan prinsip perkawinan. Di satu sisi UU Perkawinan berpegang pada prinsip monogami, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan. Namun demikian, Pasal 4 UU Perkkawinan memberikan peluang poligami bagi suami. Perlu digarusbawahi bahwa inkonsistensi akan menjadikan sebuah peraturan tidak jelas dan berada dalam zona abu-abu serta dapat menyebabkan masyarakat menjadi bingung.

Berpegang pada nilai keadilan berdasarkan pada prinsip kese- taraan, maka terlihat sekali kedudukan antara suami dan isteri tidak sama atau setara. Dalam hal suami diberikan peluang untuk poligami,36 istri ternyata tidak. Secara a contrario, demikian pula sebaliknya, ketika seorang istri dilarang untuk melakukan poliandri, maka seharusnya juga berlaku larangan yang sama bagi suami untuk melakukan poligami. Demikian seharusnya jika berpegang pada prinsip keadilan sebagai sebuah kesetaraan antara suami dan istri, maka tidak ada perbedaan dalam hal kebolehan dan larangan.

Ketidakadilan dalam poligami juga muncul dalam pemberian syarat. Pasal 4 UU Perkawinan yang memberikan peluang kepada suami untuk melakukan poligami merupakan sebuah ketidakadilan gender. Pasal 4 UU Perkawinan mengatur, pengadilan dapat mengabulkan permohonan poligami yang diajukan suami jika istri tidak dapat menjalankan kewajiban, mengalami cacat, dan tidak mendapat keturunan, padahal secara alamiah ketidakmampuan untuk mendapatkan keturunan ataupun cacat adalah keadaan yang tidak hanya bisa terjadi pada perempuan, melainkan juga bisa terjadi pada laki-laki.38 Di sisi lain, perlu diingat pula bahwa perkawinan pada dasarnya adalah sebuah hubungan lahir dan batin, sehingga tidak hanya fokus pada fisik atau badaniah saja. Oleh sebab itu alasan poligami karena alasan cacat fisik jelas mengingkari hakikat perkawinan yang digariskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan, bahwa perkawinan merupakan hubungan lahir batin.

Secara sosio-histrois, inkonsistensi dan ketidakadilan dalam materi muatan UU Perkawinan ini tidak lepas dari konteks politik hukum yang terjadi pada saat UU ini dibentuk. Budaya pembentukan perundang-undangan masyarakat bersifat patriarki, di mana posisi kaum lelaki sangat mendominasi dalam struktur pemerintahan maupun dalam proses pembentukan perundang- undangan. Apalagi hal ini terkait dengan isu masalah perkawinan. Spirit UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dapat dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaan masing- masing, sedangkan pengetahuan dan pengembangan agama yang terjadi di Indonesia dalam era waktu itu juga masih didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga isinya kurang memiliki perspektif gender untuk memberikan persamaan keadilan kepada kaum perempuan. Munculnya konsep poligami dalam UU Perkawinan merupakan salah satu contoh substansi UU Perkawinan kurang memperhatikan keadilan bagi kaum perempuan.

Dalam konteks kekinian, desain poligami yang dirumuskan dalam UU Perkawinan sering mendapatkan kritik. Hal ini disebabkan akses dan kesempatan setiap orang mendapatkan informasi untuk memperoleh ilmu dan pendidikan semakin terbuka lebar, sehingga membumikannilai-nilai keadilan dan kesederajatan tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan semakin terbuka.

Dalam pandangan Aristoteles bahwa keadilan sebagai sebuah kebajikan utama karena membawa manfaat kepada orang lain, maka seharusnya sebuah perkawinan harus bisa memberikan kemanfaatan kepada pasangan, bukan malah menyakiti atau merugikan pasangan. Perkawinan juga tidak seharusnya membiarkan pengorbanan yang dipaksakan sebagaimana pandangan John Rawls terhadap keadilan tanpa pengorbanan yang dipaksakan. Jikalau di masyarakat ditemukan poligami yang membawa kerugian yang diderita oleh pasangan atau bahkan membawa pengorbanan yang besar demi pemenuhan nafsu saja, maka perkawinan tersebut tentu jauh dari kata adil. Perkawinan poligami yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan, bahkan perceraian tentu tidak membawa manfaat dan oleh sebab itu perkawinan semacam itu jelas tidak adil. Dominasi wacana dan pengetahuan soal kebajikan perkawinan yang masih sering dipegang oleh kaum laki-laki juga menjadi persoalan tersendiri menempatkan posisi wanita (istri) dalam kedudukan yang tidak sama. Kenyataan ini masih banyak dijumpai dalam kondisi sosial masyarakat Indonesia sehingga kekerasan dalam rumah tangga, poligami dan sejenisnya masih menjadi persoalan.

Dilihat dari konsep keadilan korektif, maka seharusnya dapat diberlakukan ketika terjadi pelanggaran hak istri. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, keadilan korektif menghendaki adanya perbaikan, remedi, hukuman, ataupun ganti rugi terhadap tindakan yang merugikan orang lain. Dengan demikian ketika terjadi pelang- garan hak istri harus ada ganti rugi yang harus diberikan kepada istri yang menderita kerugian, harus ada pemulihan hak istri. Misalnya ketika istri tidak dinafkahi selama pernikahan, maka suami harus mengganti biaya nafkah yang harus diberikannya kepada istri. Secara in concreto, maka konsep ini bisa diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara perceraian dengan alasan suami tidak menafkahi istri, maka hakim bisa membebani suami untuk membayar biaya nafkah tertanggung yang belum dibayarkan. Putusan demikian terlihat pada yurisprudensi nomor 104/PDT.G/2014/PA.MSH, yang merupakan perkara cerai talak yang diajukan di Pengadilan Agama Masohi, Maluku Tengah, di mana hakim dalam perkara ini memutuskan untuk memberikan nafkah madliyah atau nafkah lampau yaitu nafkah yang seharusnya diberikan kepada istri pada masa lampau akan tetapi belum ditunaikan oleh suami. Sama halnya dengan putusan Nomor 0606/Pdt.G/2015/PA.Pas yang mengabulkan tuntutan penggugat dalam rekonvensi (tergugat dalam konvensi) yang mengajukan ganti biaya kelahiran anak yang belum dibayarkan oleh suami (penggugat dalam konvensi/tergugat dalam rekonvensi). Hakim dalam putus- annya mengabulkan ganti biaya melahirkan sebesar tiga juta rupiah kepada istri. Kedua putusan tersebut menjadi dasar bahwa pada dasarnya hakim secara a contrario telah menerapkan keadilan korektif dalam memutus suatu perkara di pengadilan.

Dengan mempertimbangkan teori keadilan yang diutarakan oleh Thomas Aquinas yang menitikberatkan pada pemenuhan hak kepada pihak lain, maka dalam konsep hubungan perkawinan, suami wajib memenuhi kewajibannya untuk menghormati dan setia kepada istri, karena kewajiban yang diberikan suami adalah hak bagi istri. Sebaliknya, istri juga harus menghormati suami. Ketidakadilan akan terjadi ketika suami tidak melakukan kewajibannya untuk menghormati dan setia kepada istri atau istri tidak melakukan kewa- jibannnya untuk menghormati dan setia kepada suami. Dalam hal terjadi poligami, maka suami tidak memenuhi kewajibannya untuk  setia kepada istri atau jika poliandri dilakukan oleh istri, maka istri bisa dianggap tidak memenuhi kewajibannya kepada suami. Menurut pandangan Aquinas, salah satu kewajiban adalah hidup sesuai dengan moralitas, karena moralitas adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sehingga dalam hubungan perkawinan ada kewajiban moral kepada pasangan dan kepada Tuhan. Oleh karena itu, mewujudkan keadilan yang sesuai dengan moralitas harus didukung dengan ilmu pengetahuan yang memadai. Pendidikan bagi para perempuan perlu selalu didorong dan ditingkatkan untuk mewujudkan perempuan yang mandiri, mengerti hak-haknya sebagai perempuan untuk mencapai kedudukan yang sederajat dengan laki- laki untuk menciptakan kehidupan yang seimbang.

Kesimpulan

Aristoteles, Thomas Aquinas, dan John Rawls telah menawarkan konsep keadilan sebagai bentuk persamaan. Berdasarkan prinsip persamaan ini maka setiap orang pada dasarnya memiliki hak, kewajiban, dan kedudukan yang sama. Dalam soal perkawinan, kedudukan suami dan istri sebenarnya seimbang, sebagaimana materi muatan dalam regulasi UU Perkawinan yang telah mengatur secara jelas adanya persamaan kedudukan antara suami dan istri. Namun demikian, penyebutan peran suami dan istri yang berbeda, serta dibukanya peluang poligami, tentu bertentangan dengan nilai keadilan sebagai sebuah persamaan khususnya bagi istri. Dalam soal poligami, UU Perkawinan menunjukkan ketidakadilan sebagai sebuah persamaan dalam dua hal: pertama, hanya membolehkan poligami bagi suami dan, kedua, persyaratan poligami sarat akan muatan gender karena menitikberatkan pada ketidakmampuan fisik istri. Ketidakmampuan ataupun cacat fisik adalah keadaan yang bisa dialami oleh perempuan ataupun laki-laki, terlebih lagi dalam UU Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan, sehingga menjadikan cacat fisik sebagai peluang poligami menunjukkan materi UU yang tidak konsisten. Dalam konteks perkawinan, maka kewajiban suami dan istri adalah untuk saling menghormati dan setia kepada pasangan. Dengan berpoligami, maka seorang laki-laki berarti melanggar konsep kesetiaan dalam perkawinan.

Tulisan telah dimuat pada Jurnal Undang Vol. 2 No. 2 (2019)