Kukuh Tejomurti
Dalam dua bulan terakhir dunia akademik Perguruan Tinggi dihangatkan dengan pemberitaan kasus dugaan plagiat oleh dua pejabat tinggi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Pertama, kasus dugaan “auto-plagiarisme/self plagiarism (plagiasi karya sendiri)” yang diduga dilakukan oleh Muryaanto Amin, rektor terpilih USU di Sumatera. Karena tindakan tersebut akhirnya, Muryanto Amin dijatuhi hukuman oleh Rektor USU, Runtung Sitepu, yaitu penundaan kenaikan pangkat dan golongan selama satu tahun terhitung sejak tanggal keputusan dikeluarkan.
Peristiwa tersebut pada akhirnya telah diselesaikan di tingkat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kepmen) dengan terbitnya Keputusan Menteri Nomor 6169/MPK.A/KP/2021 tertanggal 27 Januari 2021. Kepmen tersebut mencabut Keputusan Rektor USU Nomor 82/UN5.1R/SK/KPM/2021 tentang Penetapan Sanksi Pelanggaran Norma, Etika Akademik/Etika Keilmuan dan Moral Civitas Akademika atas nama Dr. Muryanto Amin dalam Kasus Plagiarisme. Dalam Kepmen tersebut, Menteri Nadiem Makarim menyatakan telah melakukan telaah dan kajian komprehensif oleh tim reviewer dari Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang diperoleh kesimpuan bahwa Muryanto Amin tidak terbukti melakukan plagiat.
Kasus kedua adalah dugaan plagiasi dilayangkan kepada Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Fathur Rohkman, yang diduga melakukan plagiasi terhadap karya skripsi mahasiswa bimbingannya dalam penulisan karya Disertasi Pendidikan Doktoral-nya di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dari polemik kasus tersebut pada akhirnya Dewan Kehormatan UGM merekomendasikan gelar doktor Rektor Unnes dicabut. Namun polemik ini pada akhirnya “selesai” setelah dikeluarkannya Surat Keputusan UGM Nomor 1720/UN1.P/SET-R/HK/2020 tertanggal 2 April 2020. Dua peristiwa tersebut bisa jadi mewakili kasus-kasus dugaan “plagiasi” oleh civitas akademik kampus, meskipun demikian ada perbedaan mendasar antara kasus Rektor USU (Muryanto Amin) dan kasus Rektor Unnes (Fathur Rokhman).
Pada kasus dugaan plagiasi Muryanto Amin dijelaskan bahwa Muryanto mengutip karya ilmiahnya sendiri dari karya Disertasi pendidikan doktoralnya di Universitas Indonesia. Menurut Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 17 Tahun 2010 menyebutkan bahwa “Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiaah, dengan mengutip sebagian atau seluruhnya karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai”.
Berdasarkan bunyi Pasal tersebut maka unsur “plagiasi” adalah mengutip karya ilmiah pihak lain tanpa menyatakan sumber yang tepat dan memadai sehingga Muryanto Amin dinilai “tidak melakukan” plagiasi karena mengutip karya tulis disertasinya sendiri. Selanjutnya Muryanto Amin juga dinilai melakukan “double publication” satu karya artikelnya pada dua jurnal internasional yang menurutnya bahwa sebenarnya proses submission pada jurnal pertama telah dicabut oleh penulis bersangkutan dan telah disetujui oleh editor jurnal tersebut dan melakukan submission pada jurnal internasional lain dan telah diterima untuk diterbitkan. Namun ironisnya adalah pada akhirnya editor jurnal internasional pertama tersebut (yang sudah menyetujui pencabutan) akhirnya menerbitkan artikel ilmiah Muryanto Amin sehingga terjadilah “double publication”.
Salami Publication
Dalam Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi masih hanya mengenal plagiasi sebagai “menjiplak” atau “mengutip” “karya milik orang lain” tanpa menyebutkan sumber secara tepat dan memadai. Permendiknas tersebut masih belum mengenal “self-plagiarism” dan “salami publication” sebagai sebuah pelanggaran norma hukum. Oleh karenanya “Self-Plagiarism” atau “plagiasi terhadap karya ilmiahnya sendiri” dinilai bukan merupakan pelanggaran norma Pasal 1 ayat 1 Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tersebut, namun hanya bersifat pelanggaran etika penulis. Pada hubungan antara hukum dan etika, maka jangkauan etika lebih luas daripada hukum. Oleh karenanya pelanggaran hukum dapat disebut sebagai pelanggaran etika, tetapi belum tentu pelanggaran etika merupakan pelanggaran hukum.
Menurut Abraham P, dalam karya ilmiah berjudul Duplicate and Salami Publication, J Postgrad Med, 2000;46:67-9 mendefinisikan “salami publication” adalah “a publication of two or more articles derived from single study”. Dijelaskan juga oleh Vesna Supak Smolcic, Salami Publication: Definitions and Examples, dalam Jurnal Biochemia Medica edisi 2013 Oct, 23(3). Halaman 237, bahwa “salami publication” adalah “a distinct form of redundant publication which is usually characterized by similarity of hypothesis, methodology, or result but not text similarity”. Broad WJ, dalam The Publication game: getting more for less,Science, 1981;211:1137-9 menjelaskan juga bahwa “salami publication as articles of such type report on data collected from a single study split into several segments...”.
Dari ketiga pakar tersebut, maka kita dapat tarik kesimpulan bahwa karya ilmiah yang diterbitkan dalam dua atau lebih publikasi ilmiah yang bersumber dari “single study” dan memiliki kesamaan permasalahan penelitian, hipotesis, methodology, atau hasil, meskipun memiliki perbedaan tesk tulisan disebut sebagai “salami publication”. Memang harus diakui dalam “salami publication” maka publikasi tersebut akan sulit dideteksi oleh aplikasi software seperti turnitin atau plagiarism checker lain sehingga ini dapat mengakibatkan hal yang serius dalam publikasi karya ilmiah.
Peranan Editor
Untuk kasus pertama “double submission” maka memang sulit diketahui di awal karena jurnal-jurnal yang telah dipilih untuk submit memang belum mempublikasi artikel tersebut. Setelah beberapa waktu melalui proses review baik oleh aplikasi turnitin, reviewer eksternal, dan terakhir tahap persiapan penerbitan seharusnya seorang editor jurnal memeriksa kembali semua artikel yang akan diterbitkan bisa melalui pemeriksaan turnitin kembali atau check pada search engine google dengan memeriksa judul dengan dua bahasa (bahasa Indonesia dan Inggris).
Pada beberapa kasus ditemui ada jurnal lain yang sudah mempublikasikan lebih dahulu meskipun dengan bahasa yang berbeda dengan memparafrase kalimat judul artikel tapi ketika diperiksa substansi artikel adalah sama persis dengan artikel yang disubmit oleh jurnal yang kami kelola. Pada kasus ini Saya dan tim pengelola biasanya akan black list penulis tersebut karena telah melakukan pelanggaran etika publikasi.
Untuk menghindari “salami publication” maka menurut Vesna Supak Smolcic diperlukan beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh para penulis yaitu di antaranya: pertama, sebaiknya dalam satu kajian penelitian ditulis dan disubmit dalam satu karya artikel publikasi, kedua, apabila seorang menuliskan artikel kedua berdasarkan hasil penelitian yang telah terpublikasi maka sebaiknya disamping menuliskan sumber referensi yang memadai, maka penulis harus menyatakan bahwa artikel kedua tersebut merupakan bagian dari rangkaian penelitian sebelumnya yang mempunyai kebaharuan atau pengembangan kajian/ konsep.
Namun dari upaya-upaya tersebut adalah kembali kepada kejujuran dan etika akademik penulis sendiri. Jangan sampai karya publikasi yang seharusnya meningkatkan kehormatan intelektual dan kampus di mana ia bekerja, malah menjadi “polemik etika dan hukum” yang dapat menjatuhkan kehormatan di hadapan civitas akademik dan masyarakat.