Kukuh Tejomurti

Abstract – This article describes the legal responsibility for the government officials involved lawsuit of the procurement of goods and services. Each year the government officials (budget users, official commitment maker, and procurement officer) is requiered to absorb optimally budget in order to succed the government development program, yet the other side they will experience “quandary” in the audit process by the Audit Board of The Republic Indonesia. the lower decree of checks and verification set off civil and administrative lawsuit attracted to the criminal responsibility. This causes the psichological effect for the government officials related to the procurement of goods and services. The problems researched: firstly, what is the factor causing the government officials of the procurement which will be able to involve law suit concerning on the corruption which has type of the financial harm state?; secondly, How is the legal responsibility for the government officials of the procurement fairly involved the corruption lawsuit having the type of the financial harm state. The research methods used by this research is the normative legal research applying the conceptual and legislation approach. The result of first discussion often find in the field of procurement officers and officials is a commitment-makers who are not competent in their field so the procurement process does not give good results and obey the law. The second result, law enfocer often has checked and verified a procurement lawsuit easily concerning in the corruption which has type of the financial harm state even though the facts found to be more civil and administrative

 

Keywords: government apparatus; legal liability; procurement of goods and services

 

PENDAHULUAN

Tidak dipungkiri bahwa persoalan pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah masih menjadi persoalan menakutkan bagi sebagian pejabat pemerintahan (lembaga Negara /kementerian/ institusi pemerintahan pusat dan daerah). Institusi pemerintah seringkali mengalami degradasi prestasi karena serapan anggaran tidak mencapai hasil yang maksimal. Sebagian besar anggaran tidak dapat terserap secara maksimal karena sebagian besar Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)/Pejabat Pengadaan begitu hati-hati dalam melakukan proses pengadaan barang dan jasa karena khawatir proses dan hasil pengadaan barang dan jasa terjadi temuan- temuan setelah dilakukan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berakibat pada sengketa pidana.

Kekhawatiran aparatur pemerintah terjerat kasus hukum karena kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah memiliki alasan sosiologis dan psikologis tersendiri. Mayoritas tipe kasus hukum yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan terkait korupsi adalah pada kegiatan pengadaan barang dan jasa. Kasus tersebut mengemuka entah karena memang ada niat jahat pelaku atau karena kesalahan prosedur administrasi atau sebuah peristiwa wanprestasi keperdataan. Tidak hanya tipe kasus hukum terkait pengadaan barang dan jasa yang sedang dalam proses peradilan yang memberikan efek kekhawatiran psikis bagi aparatur pemerintah. Sejumlah vonis atau putusan hakim terkait kasus korupsi pada kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah juga memicu kekhawatiran karena sejumlah vonis atau putusan hakim seringkali ditemukan kelemahan-kelemahan pada konstruksi hukum yang dibangun oleh hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara korupsi terkait kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Catatan KPK tahun 2015, kerugian negara akibat korupsi pada kegiatan pengadaan barang dan jasa nilainya mencapai Rp 1 Triliyun. Dari 148 kasus korupsi yang ditangani KPK, terdapat 142 kasus yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Banyaknya persoalan ini, tentu saja merupakan cerminan dari sejumlah kasus dan tumpang tindihnya pada peraturan terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), catatan korupsi yang terjadi menunjukkan dari 267 kasus korupsi 42,70% merupakan kasus pengadaan barang dan jasa pemerintah dimana pegawai / aparatur pemerintahan baik pusat maupun daerah merupakan aktor utama korupsi. Dari pegawai pemerintahan daerah 39,03% merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Berdasarkan catatan tersebut terlepas dari memang ada niat jahat pelaku atau hanya persoalan administrasi dan keperdataan seringkali Pengguna Anggaran, Kuasa pengguna Anggaran, dan Pejabat Pembuat Komitmen mengalami dilema dalam melaksanakan program pembangunan karena dari tipologi kasus hukum yang terjadi tidak jarang menabrak batas rezim hukum.

Menurut Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) KPK Tahun 2014, selama tahun 2014, berkas perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tipikor adalah sebanyak 45 (empat puluh lima) perkara. Dari jumlah itu, sebanyak 40 (empat puluh) perkara sudah diputus di PN Tipikor dengan keputusan terdakwa dinyatakan bersalah. Penanganan berdasarkan jenis perkara menunjukkan dari 58 (lima puluh delapan) perkara korupsi sepanjang 2014, 15 (lima belas) di antaranya kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.

Sisanya berupa 5 (lima) kasus korupsi perizinan, 20 (dua puluh) kasus penyuapan, 6 (enam) kasus terkait pungutan, 4 (empat) kasus terkait penyalahgunaan anggaran, 5 (lima) kasus pencucian uang, dan 3 (tiga) kasus merintangi pemeriksaan KPK. Namun, mungkin apabila dikaji lebih dalam, perkara-perkara tersebut bisa jadi masih berakar pada pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Penulis meneliti dari sejumlah vonis putusan hakim terkait korupsi pada kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah ada dugaan awal karena penegak hukum terlampau mudah menilai unsur “dapat merugikan keuangan negara” dan rendahnya kualitas pembuktian. Ada indikasi orang-orang dipidana padahal kesalahannya adalah persoalan administrasi dan perdata.

Sebagai contoh vonis Nomor 43/Pid.Sus.K/2014/PN.Mdn atas perkara Crish L. Manggala. Kasus yang menimpa Crish L. Manggala adalah pada tender turbin pembangkit listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Belawan, Sumatra Utara. Crish L. Manggala adalah mantan General Manager PT PLN Sumatra Utara. Dalam struktur pengadaan barang ia berposisi sebagai pengguna barang dan jasa (dalam Perpres No. 4/2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah equivalen dengan Pejabat Pembuat Komitmen/PPK). PPK adalah orang yang mewakili institusi dalam penandatanganan kontrak dengan penyedia barang atau jasa. Inti dakwaan primer kasus Crish L. Manggala adalah terdakwa dinilai “melawan hukum” karena memilih satu penyedia jasa yang menyediakan suku cadang nonoriginal. Dakwaan ini gugur karena PLN memiliki kebijakan penggunaan suku cadang nonoriginal. Dakwaan menawarkan harga lebih mahal juga gugur karena memang ada kerusakan tambahan pada turbin pembangkit yang saat proses pengadaan berlangsung kerusakan    belum    terjadi     sehingga ada addendum kontrak terkait perpanjangan kontrak. Selanjutnya jaksa penuntut umum mendalilkan pada dakwaan sekunder, yaitu terdakwa Crish L. Manggala dinilai memenuhi unsur “…dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Hakim menilai unsur ini terpenuhi karena terdakwa telah melakukan kesalahan dengan membayar kepada penyedia barang atau jasa, padahal perusahaan ini terlambat memenuhi kontrak.

Turbin pembangkit terlambat datang. Turbin seharusnya datang pada 12 September 2012. Faktanya turbin datang pada 14 Desember 2012. Terhadap keterlambatan tersebut, terdakwa dinilai bersalah karena tidak memberikan teguran. Hakim juga menilai terdakwa memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Argumentasi hakim adalah terdakwa tidak membuat berita acara serah terima barang dan/atau serah terima pekerjaan.

Ada dugaan awal bahwa substansi materi vonis kasus Crish L. Manggala bermakna terjadi penerobosan hukum pidana pada batas wilayah hukum administrasi dan perdata karena rendahnya standar pembuktian pada korupsi tipe merugikan keuangan negara.

Di samping itu juga seringkali terjadi dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah, seorang aparatur pemerintah yang ditunjuk dan diangkat sebagai PPK adalah orang yang tidak berkompeten pada suatu kegiatan pengadaan barang dan jasa. Oleh karenanya, pada saat audit, BPK sering menemui kekeliruan dan kelalaian PPK dalam proses perencanaan, pengawasan, dan serah terima hasil kegiatan pengadaan barang dan jasa. Sebagai contoh pada kegiatan pengadaan barang dan jasa pembangunan gedung (konstruksi gedung) kementerian agama, PPK yang ditunjuk adalah seorang sarjana agama yang mana tidak berkompeten di bidang pembangunan gedung. Akibatnya, pada saat proses pembangunan gedung perencanaan dan pengawasan yang dilakukan oleh PPK tersebut tidak maksimal dan pada saat audit BPK terjadi banyak temuan yang dapat merugikan diri seorang PPK.

Berdasarkan latar belakang di atas, kajian hukum terkait kasus pengadaan barang dan jasa menarik untuk diteliti karena proses berhasil tidaknya program pemerintah suatu negara salah satunya diukur dari proses pembangunan yang dilaksanakan. Apabila aparatur pemerintah memiliki ketakutan secara psikologis dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa maka dapat mempengaruhi serapan anggaran pembangunan. Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya program- program pembangunan sebuah negara dan akibatnya masyarakat yang terkena imbas dari terhambatnya proses pembangunan.

PEMBAHASAN

Tinjauan Umum Tentang Pengaturan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Pengaturan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) menjadi Peraturan presiden (Perpres) merupakan bagian dari usaha penyelenggaraan pemerintah yang menjunjung keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, dan persaingan sehat. Untuk mencapai penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan didukung dengan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, dan akuntabel, Perpres PBJ telah diadakan beberapa kali perubahan. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan Perpres PBJ dengan perkembangan pemerintahan. Selain itu, perubahan Perpres PBJ juga untuk mengisi kekosongan hukum atas beberapa poin strategis yang belum diatur sebelumnya sehingga menjadi celah tindak pidana korupsi.

Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan perpres pertama yang mengemas pengaturan PBJ. Melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2011 sebagai Perubahan pertama Perpres Nomor 54 Tahun 2010 mengubah ketentuan Pasal 44. Perubahan tersebut menambahkan poin yang mengatur tentang penunjukan langsung pekerjaan jasa konsultansi di bidang hukum. Kemudian dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja Negara sebagai upaya percepatan pembangunan, diadakan perubahan melalui Perpres Nomor 70 Tahun 2012. Perpres tersebut melakukan perubahan terhadap 70 (tujuh puluh) ketentuan baik pasal maupun penjelasan pasalnya.

Pada tahun 2014, Perpres PBJ kembali diubah melalui Perpres Nomor 172 Tahun 2014. Perubahan dilakukan dengan menambahkan huruf d.1 pada ayat (5) Pasal 38 tentang kegiatan yang bersifat rahasia untuk kepentingan intelijen atau perlindungan saksi, sebagai kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukan penunjukan langsung terhadap Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi Jasa.

Perubahan signifikan kembali dilakukan melalui Perpres Nomor 4 Tahun 2015 sebagai Perubahan Kelima Perpres Nomor 54 Tahun 2010. Perubahan yang dilakukan di antaranya perubahan defenisi LKPP dan Pejabat Pengadaan, penambahan penunjukan langsung pada poin tugas pokok dan kewenangan pejabat pengadaan, merampingkan persyaratan pajak untuk penyedia, menambahkan aturan tentang persyaratan pajak untuk metode pengadaan langsung, penggunaan jaminan pelaksanaan, waktu pengumuman pemilihan, waktu pembayaran dan mekanisme pembayaran pekerjaan rekonstruksi, pembayaran sebelum prestasi, pengadaan secara elektronik, dan beberapa ketentuan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja Negara serta penambahan ketentuan lain terkait pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui pemanfaatan teknologi informasi.

Dari berbagai perubahan pengaturan mengenai Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, definisi mengenai Pejabat Pembuat Komitmen tidak pernah dikaji dan mengalami perbaikan. Terakhir, pada Pasal 1 angka 7 Perpres Nomor 4 Tahun 2015 definisi PPK adalah Pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.

Adapun syarat menjadi PPK telah diatur Dalam Perpres 54 Tahun 2010 pasal 12 ayat 2, syarat menjadi PPK tersurat dengan tegas :

  1. memiliki integritas;
  2. memiliki disiplin tinggi;
  3. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas;
  4. mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
  5. menandatangani Pakta Integritas;
  6. tidak menjabat sebagai pengelola keuangan; dan
  7. memiliki Sertifikat  Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.

Meskipun telah diatur secara tegas pada Pasal 12 ayat 2 Perpres Nomor 54 Tahun 2010, terkadang dalam realita seringkali ditemui bahwa PPK adalah bukan orang yang berkompeten dibidangnya. Ada persoalan mendasar pada saat PPK yang bukan ahlinya tersebut diminta untuk mengawasi proyek pengadaan barang dan jasa yang bersifat sangat teknis dan memerlukan perhitungan khusus dalam proses pengawasannya. Sebagai contoh pada proyek-proyek pembangunan gedung, lift, jembatan, dan bidang konstruksi lain.

PA (dan KPA) seharusnya menunjuk dan mengangkat seorang pejabat pembuat komitmen (PPK) sesuai dengan bidang keahliannya. Pengguna Anggaran seringkali menunjuk dan mengangkat hanya karena seseorang tersebut telah memiliki sertifikasi keahlian pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah (LKPP), namun PA (KPA) seringkali mengesampingkan latar belakang kompetensi seorang PPK.

Seorang PPK yang tidak memiliki keahlian sesuai tuntutan pekerjaan maka dapat dipastikan akan mengalami kesulitan dalam proses kegiatan pengadaan barang / jasa dan pengawasannya. Ketika dalam proses pengawasan tidak berjalan maksimal maka kekeliruan dan dugaan ada “itikad buruk” dari penyedia bisa saja terjadi dan hal ini dapat menjadi persoalan tersendiri saat audit dari BPK.

Klasifikasi Rezim Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan Hukum Administrasi

Secara konseptual, derajat pembuktian di hukum pidana dikenal dengan istilah “beyond reasonable doubt”, yang jika diterjemahkan secara bebas berarti kesalahan terdakwa “meang meyakinkan”, dan oleh karenanya layak mendapatkan hukuman pidana. Sedangkan, derajat pembuktian dalam hukum perdata dan administrasi, disebut istilah “more likely than not true” atau “Preponderance of evidence” yang dapat diartikan sebagai “mana yang lebih tampak benar”.

Standar pembuktian untuk perkara pidana didesain lebih tinggi daripada untuk perkara yang lain karena, mengutip Ronald Dworkin, “keliru memvonis pidana orang yang tidak bersalah , lebih berbahaya secara moral daripada keliru membebaskan orang yang bersalah”. Selanjutnya Dworkin juga menjelaskan bahwa “sistem hukum dapat dibenarkan untuk meenjarakan seseorang hanya jika sistem ini memberikan perlindungan terbaik kepada orang tersebut dari resiko kemungkinan vonis yang salah dan jika tidak ada mekanisme lain yang dapat memberikan perlindungan yang lebih baik kepada masyarakat”. adalah benar bahwa terminologi di atas dijabarkan oleh sarjana hukum di negara anglo saxon. Namun, konsep dimana standar pembuktian hukum pidana lebih tinggi daripada hukum administrasi dan perdata adalah konsep yang berlaku umum di negara manapun, sehingga kerangka konseptual ini diapndang dapat digunakan untuk keperluan analisis penulisan ini.

Apabila mempelajari Putusan Hakim yang memeriksa perkara dugaan korupsi Turbin dengan terdakwa Chris Manggala (kasus Mapna Co). Konstruksi hukum yang dibangun oleh Hakim adalah menarik untuk dikaji. Argumentasi hakim tampak sumir dengan menyatakan terdakwa Chris Manggala memenuhi unsur “dengan tujuan menguntungkan suatu korporasi”, hanya karena yang bersangkutan tidak menegur Mapna Co atas keterlambatan prestasi selama tiga bulan. Situasi dimana Mapna Co terlambat tiga bulan dalam mengirimkan turbin adalah urusan keperdataan Maka seharusnya solusi hukum untuk hal ini, misalnya dengan memerintahkan PLN untuk mengenakan denda keterlambatan kepada Mapna Co, dan bukan memidana karyawan PLN. Hakim juga berlebihan dengan menyatakan terdakwa    memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan , karena tidak mebuat berita acara serah terima barang dan / atau serah terima pekerjaan. Jika memang Chris melakukan kesalahan, maka kesalahan tersebut adalah kesalahan administratif (Tidak menegur atau tidak membuat surat).

Pembuktian hakim dalam unsur “dapat merugikan keuangan negara” juga terkesan sumir. Adanya kata “dapat” mengakibatkan bahwa unsur pembuktian yang mendalam pada perkara dugaan korupsi ini menjadi diabaikan. Penegak hukum terlampau mudah untuk menyimpulkan bahwa terdakwa telah memenuhi unsur-unsur delik merugikan keuangan negara, dan hal ini disebabkan oleh rendahnya derajat pembuktian yang diterapkan pada tindak pidana tersebut, yaitu tidak terdapatnya uraian yang mengharuskan pembuktian bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bertujuan untuk merugikan keuangan negara. Akibatnya kesalahan yang bersifat administrasi dan perdata (misal: wanprestasi, tidak ada adendum kontrak, tiada berita acara serah terima hasil pengadaan) dapat ditarik-tarik masuk ke dalam rezim hukum pidana.

Auditing, Kerugian Negara, dan Pertanggungjawaban

Dalam episemologi dikenal beberapa teori kebenaran, yakni teori kebenaran sebagai persesuaian, teori kebenaran sebagai keteguhan, teori kebenaran pragmatik, dan teori kebenaran performatif. Teori kebenaran oleh Sonny Keraf dan Mikhail Dua, sebagaimana dikutip Rhiti menyatakan bahwa mengatakan yang ada sebagai tidak ada atau tidak ada sebagai ada adalah salah. Sebaliknya, benar jika mengatakan yang ada sebagai ada dan tidak ada sebagai tidak ada. Dalam pemeriksaan laporan keuangan institusi pemerintah, BPK harus melakukan audit lapangan, tidak cukup hanya berdasarkan data-data yang diberikan oleh penyidik kepolisian.

Hal ini juga dengan kebebasan dan kemandirian dalam proses pemeriksaan keuangan dalam menjalankan pemeriksaan sehinga dapat memperoleh data secara lengkap dan akurat sebelum memberikan kesimpulan terhadap penyidik. Hal itu diamanatkan dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Kesimpulan kualifikasi akan disampaikan dalam audit investigatif ketika menemukan kesalahan pencatatan, kesalahan penjumlahan, kesalahan pengelompokan biaya, dan menemukan pembiayaan yang kurang lebih sama, telah memiliki payung hukum dalam pengelolaan keuangan negara. Hal ini termasuk penentuan kualifikasi ranah pidana, dalam hal ini tindak pidana korupsi atau hukum administrasi negara.

Penentuan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi dalam praktik memang tidak mudah. Namun demikian, tidak berarti kerugian negara tersebut tidak dapat dihitung. Langkah pertama dalam menentukan kerugian negara adalah memetakan yurisdiksi suatu perkara setelah auditor BPK melakukan analisis antara apa yang ditetapkan dan apa yang dilaksanakan atas perencanaan kegiatan dan anggaran. Dalam menentukan kerugian keuangan negara ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Tuanakota menegaskan secara konseptual proses penentuan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi dapat dibagi dalam tiga tahap berikut:

  1. Tahap pertama, menentukan ada atau tidaknya kerugian negara;
  2. Tahap kedua, menghitung besarnya kerugian keuangan negara tersebut kalau memang ada;
  3. Tahap ketiga, menetapkan kerugian negara;

Kelemahan auditor, menurut Tuanakota, terlihat dari kebiasaan auditor melaporkan temuan mereka. Contoh yang sering terjadi, “kami menemukan adanya pembayaran sebesar Rp 139 miliar yang terjadi tidak didukung teuan bukti-bukti yang cukup”. Hal ini juga terjadi terhadap temuan aduit investigatif auditor BPK atas laporan keuangan. Hasil audit menyatakan berpotensi merugikan keuangan negara karena tidak dilengkapi bukti kuitansi Hasil laporan tersebut kemudian diaudit kembali dan menyimpulkan telah terjadi kerugian negara. Argumentasi yang sering dipergunakan adalah audit pertama sifatnya reguler atau audit laporan keuangan, sedangkan audit kedua dengan tujuan tertentu atau audit investigatif. Wilayah inilah yang sering menimbulkan ketidakpastian dan perlu ada penjelasan yang lebih ketat menurut hukum yang benar.

Penghitungan kerugian negara tidak memiliki metode yang baku. Namun, dalam praktik akuntan forensik dalam melakukan audit forensik memilih metode dari berbagai metode yang dikenal dalam ilmu akuntansi yang tersedia bergantung bentuk tindak pidana korupsinya.

Ketentuan hukum bertalian dengan pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga memenuhi unsur untuk dijatuhi hukuman pidana. Hal ini sebagaimana dapat ditemukan dalam ketentuan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, Robinson mengatakan “it operates to filter those deserving punishminet for their wrong from those who do not and to guide liability according to their degree fault”.

Aturan pertanggungjawaban pidana merupakan saringan penjatuhan pidana, yakni hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana dikenakan sebatas kesalahan tersebut. Roeslan Saleh, sebagaimana disitir oleh Huda dalam teori kesalahan normatif, menyatakan bahwa ada kesalahan jika kelakukan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Sebagai suatu pengertian yang normatif, kesalahan merupakan masalah penilaian yang dilakukan berdasarkan norma. Moeljanto yang dikutip oleh Huda mengatakan orang yang        tidak      mungkin dipertanggungjawabkan pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak pidana seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban.

Selain ketentuan yang bertalian dengan Hukum Pidana, Pembuktian, dan pertanggungjawaban pidana. Dalam lokus negara, teori sistem ekologi administrasi akan melihat administrasi negara sebagai suatu sistem yang didalamnya terdapat subsistem yang saling mempengaruhi. Subsistem tersebut terdiri dari subsosial, seperti hukum, sosial, dan budaya, serta politik, dan dubsistem alam, seperti iklim, temperatur udara, dan sebagainya.

Menurut teori sistem ekologi administrasi, ada kaitan antara disiplin ilmu yang satu dan yang lain, baik secara interdisipliner maupun multidisipliner. Dalam konteks hubungan hukum dan politik pengawasan perundang-undangan dapat dilakukan melalui legislatif review, khususnya saat terjadinya anggaran pendapatan dan belanja negara (atau daerah), pada saat menyusun perencanaan kegiatan dan anggaran.

Philipus M. Hadjon, sebagaimana dikutip oleh Wijaya, mengatakan bahwa dalam penanganan korupsi dan suap terkait kewenangan jabatan, wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administras negara yang sangat diperlukan sebagai  pisau analisis.

Tuanakota menegaskan ada persinggungan antara hukum, akuntansi, dan auditing.

Ada satu kerugian sekaligus beberapa kemanfaatan yang mungkin timbul jika standar pembuktian korupsi tipe merugikan keuangan negara ditingkatkkan. Kerugiaannya adalah penegak hukum mungkin akan menghadapi kesulitan untuk menyeret terduga korupsi, padalah kasus korupsi mungkin tidak mudah untuk dibuktikan. Menurut Richo Andi Wibowo ada beberapa manfaat yang perlu dipertimbangkan, antara lain:

  1. Peningkatan standar ini akan lebih berkeadilan, karena orang akan dihukum sesuai derajat Bukanlah tidak adil untuk menvonis seseorang telah melakukan korupsi, padahal pengadilan hanya mampu menunjukan kesalahan terdakwa adalah “wanprestasi” atau “tidak menegur” atau “tidak membuat berita acara serah terima hasil pengadaan”;
  2. Penegak hukum akan lebih profesional pada semua kasus Peningkatan standar pembuktian yang lebih tinggi, penegak hukum bisa dicegah untuk berbuat sewenang-wenang dengan menekan calon tersangka untuk melanggar hukum untuk kepentingan pribadi si penegak hukum.
  3. Mentralisir ketakutan yang tidak perlu, sehinga kegiatan proses berjalannya pemerintahan dapat berjalan lebih optimal dan

KESIMPULAN

Aparatur pemerintah khususnya Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, dan Pejabat Pengadaan di satu sisi dituntut dalam penyerapan anggaran yang optimal dalam upaya menyukseskan program pembangunan, namun para aparatur pemerintah tersebut juga mengalami dilema karena adanya “euforia” penegak hukum dalam memeriksa dan menyimpulkan seorang aparatur pemerintah terlibat dalam tindak pidana korupsi tipe dapat merugikan keuangan negara. Derajat pembuktian yang sumir seringkali memberikan ketakutan dan efek psikologis kepada aparatur pemerintah dalam menyerap anggarap melalui kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Selain itu, di lapangan seringkali ditemukan seorang pejabat pembuat komitmen yang tidak berkompeten sesuai dengan tuntutan pekerjaan pengadaan barang dan jasa sehingga dari proses perencanaan, penyusunan harga perkiraan sendiri, pengawasan, sampai pada serah terima hasil pengadaan terkadang ditemukan kekeliruan yang bersifat administrasi dan perdata, namun kekeliruan tersebut tidak jarang juga ditarik pada pertanggungjawaban pidana;

Proses penegakan hukum yang berkeadilan begitu penting dilaksanakan khususnya pada kegiatan perkara pengadaan barang dan jasa pemerintah. Penegak hukum seharusnya melakukan pemeriksaan dan pembuktian dengan hati- hati dan tidak mudah menyimpulkan perkara “wanprestasi” , “persoalan perpanjangan kontrak”(bersifat keperdataan), dan perkara “kekurangan berkas berita acara pengadaan barang dan jasa (bersifat administrasi) ditarik ke dalam rezim hukum pidana (khususnya tindak pidana korupsi).

Telah Dipublikasikan oleh Jurnal : Dialogia Iuridica