Sapto Hermawan

ABSTRACT

This article aims to describe an efforts to harmonize and to synchronize national policies that the government intends to implement by basing on the interests of indigenous peoples as vulnerable groups related to adaptation to climate change. Through the use of normative studies, an explanation can be given that the abolition of domestic policy based on local wisdom as an adaptation strategy in dealing with climate change can be taken through five stages, namely (1) observation phase, (2) assessment stage, (3) planning stage, (4) the implementation phase, and (5) the monitoring and evaluation stage.

Keywords: environmental policy, local wisdom, climate change

 

Pendahuluan

Salah satu kesepakatan penting dalam 2015 Paris Climate Change Conference (COP21) adalah mendorong penguatan dan pengintegrasian kebijakan nasional untuk da- pat bersinergi dengan kapasitas ilmu pengetahuan (science) yang dimiliki oleh masyarakat adat (indigenous peoples) sebagai strategi adaptasi menghadapi perubahan iklim (climate change), sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 7 Paris Agreement bahwa:

Parties acknowledge that adaptation action should follow a country-driven, gender- responsive, participatory and fully transparent approach, taking into consideration vulnerable groups, communities and ecosystems, and should be based on and guided by the best available science and, as appropriate, traditional knowledge, knowledge of indigenous peoples and local knowledge systems, with a view to integrating adap- tation into relevant socioeconomic and environmental policies and actions, where appropriate (Garis bawah Penulis).

Rumusan tersebut seolah menegaskan kembali bahwa selama ini kebijakan yang diambil dalam kerangka menghadapi perubahan iklim (climate change), terutama kebi- jakan terkait dengan keberadaan masyarakat adat (indigenous people) telah menuai kega- galan disejumlah negara. Setidaknya terdapat tiga alasan utama (main reason) sebagai basis argumentasi dalam menjelaskan kegagalan kebijakan tersebut, antara lain: (1) Anggapan bahwa Traditional Ecological Knowledge (selanjut disingkat TEK) bukanlah sebagai cabang ilmu pengetahuan yang valid sehingga bermuara kepada pengisolasian peran TEK dalam setiap perumusan climate decision-making dan policy actions pada mayo- ritas negara transisi (transition state) dan negara maju (developed state).; (2) Bahwa konstruksi TEK yang bersifat lokal, kompleks, dan cenderung heterogen memerlukan usaha (effort) yang adaptif dan integral bagi negara untuk menginfiltrasikan program-pro- gram melalui kebijakan domestiknya. Kondisi inilah yang kemudian memaksa suatu Negara untuk memilih opsi lain (baca: lebih mudah dan sederhana) melalui top-down policy serta mengeliminasi keterlibatan aktif masyarakat adat (indigenous people) terma- suk didalamnya kecenderungan pengabaian keberadaan TEK; (3) Adanya kesenjangan lingkungan hidup (environmental divide), dimana kebijakan negara di belahan bumi utara (north) yang didominasi oleh negara maju/industri (developed state) cenderung menga- baikan kesepakatan Protokol Kyoto dengan dalih pertumbuhan (growth) dan kestabilan ekonomi6 sementara disisi berlawanan kebijakan negara berkembang (developing state) di mana sebagian besar berada di belahan bumi selatan (south) semakin intensif dalam pro- gram/aksi penyelamatan lingkungan hidup.7 Kondisi masyarakat adat (indigenous people) di mana secara lokasi geografis sangat rentan (vulnerable) terhadap perubahan iklim (climate change), secara tidak langsung semakin tidak diuntungkan dengan adanya pertentangan kebijakan antropogenik kedua kutub tersebut.

Sementara itu, dalam konteks nasional, pengakuan terhadap masyarakat adat (indigenous people) sesungguhnya sudah dicantumkan dengan jelas di dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) terutama pada Pasal 18B ayat (2) bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indo- nesia, yang diatur dalam undang-undang. Terkait dengan isu global perubahan iklim (cli- mate change), pengakuan keberadaan hak-hak masyarakat adat (indigenous people) semakin menguat semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto.

Realisasi komitmen nasional sebagai respon dalam menghadapi perubahan iklim (climate change) sebagaimana diamanahkan kedua instrumen hukum tersebut kemudian diterjemahkan kedalam langkah strategis yang terklasifikasi menjadi dua kategori, yaitu

(1) Penyusunan strategi mitigasi melalui Rencana Aksi Nasional/Daerah-Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/D-GRK) dan (2) Penyusunan strategi adaptasi melalui Rencana Aksi Nasional/Daerah-Adaptasi Perubahan Iklim (RAN/D-API).

Dalam hal strategi adaptasi (RAN/D-API) perubahan iklim di Indonesia diarahkan dengan bertujuan untuk (1) Upaya penyesuaian dalam bentuk strategi, kebijakan, penge- lolaan/manajemen, teknologi dan sikap agar dampak (negatif) perubahan iklim dapat dikurangi seminimal mungkin, dan bahkan jika memungkinkan dapat memanfaatkan dan memaksimalkan dampak positifnya; dan (2) Upaya mengurangi dampak (akibat) yang disebabkan oleh perubahan iklim, baik langsung maupun tidak langsung, baik kontinu maupun diskontinu dan permanen serta dampak menurut tingkatnya.

Serangkaian kebijakan strategis RAN-API tersebut dapat digambarkan ke dalam 5 (lima) bidang ketahanan seperti pada bagan berikut:

Bagan 1. RAN – API Indonesia (Bappenas, 2013:13)

Berpijak dari pengkajian dan penelusuran Rencana Aksi Nasional–Adaptasi Peruba- han Iklim (RAN-API) secara mendalam, apabila direlasikan dengan keberadaan TEK, oleh karena itu sangat diperlukan adanya langkah-langkah strategis serta upaya konstruktif dari pemerintah (sebagai pihak otoritas yang memiliki kewenangan kuat) untuk meru- muskan serta mengintegrasikan keberadaan TEK kedalam kebijakan adaptasi menghadapi perubahan iklim (climate change).

Mendasarkan kepada latar belakang tersebut diatas, dengan demikian rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana pembabakan yang akan dijalankan Peme- rintah untuk mengintegrasian keberadaan TEK kedalam kebijakan strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim (climate change).

 Pembahasan

Perubahan Iklim (Climate Change) dan Masyarakat Adat

Perubahan iklim menjadi semakin sering diperbincangkan pada saat Intergovern- mental Panel on Climate Change (selanjutnya disingkat IPCC) mengeluarkan berbagai te- muan terbaru mengenai trend perubahan iklim. Beberapa temuan tersebut, misalnya, menyatakan bahwa konsentrasi gas CO2 di atmosfer makin meningkat dari 278 parts per million (selanjutnya disingkat ppm) pada era praindustri (pra-1850) menjadi 379 ppm pa- da tahun 2005. Kenaikan ini mengakibatkan peningkatan pemanasan atmosfer bumi yang menimbulkan sejumlah dampak, seperti es mencair, kenaikan permukaan air laut, dan perubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut diprediksi akan menenggelamkan 6% daerah Belanda, 17,5% daerah Bangladesh, dan kurang lebih 2000 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam. Perubahan-perubahan mendasar pada iklim muka bumi selanjutnya mengakibatkan perubahan signifkan pada iklim lokal. Hal itu berdampak pada pergeseran pola tanam dan munculnya berbagai jenis hama dan penyakit.

Petaka lingkungan hidup dan potensi ancaman terhadap keselamatan manusia da- lam perubahan iklim menyatukan tekad berbagai negara untuk membuat tanggapan ber- sama sehingga melahirkan Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992 atau dikenal dengan UNFCCC (United Nations Framework Conventon on Climate Change). Salah satu targetnya adalah pengurangan emisi negara-negara industri yang dikenal dengan sebutan negara- negara Annex I sebesar 5,2% dari level di tahun 1990. Di bawah payung konvensi ini, ber- bagai perundingan perubahan iklim untuk menyepakati pengurangan emisi dan skema- skema pendukungnya terus berlanjut, antara lain melahirkan sebuah kesepakatan monumenttal yaitu Protokol Kyoto. Terlepas dari segala kelemahannya, Protokol ini memberi preseden (landmark) bagi kesepakatan hukum yang mengikat dalam isu perubahan iklim. Namun demikian, pasca-Protokol Kyoto, terdapat berbagai dorongan agar cakupan masa- lah dalam perubahan iklim diperluas dengan mempertimbangkan temuan-temuan ilmiah tertentu. Salah satu temuan IPCC, misalnya, menyebutkan bahwa dari total emisi karbon sekarang, seperlimanya merupakan sumbangan dari aktvitas perubahan tata guna lahan. Bahkan, sumbangan terbesarnya berasal dari deforestasi di hutan tropis. Temuan ini, Ber- samaan dengan berbagai agenda ekonomi-politik lainnya, kemudian mendorong masuk- nya isu hutan dan kehutanan ke dalam strategi adaptasi perubahan iklim.

Salah satu skema baru yang dibahas di bawah tema kehutanan adalah Reducing Emission from Deforestaton and Forest Degradation (selanjutnya disingkat REDD). REDD menjadi salah satu isu krusial yang menimbulkan perdebatan di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat sipil. Seberapa besar skema REDD dapat memberikan perlindungan bagi hak masyarakat adat sebagaimana tertuang dalam berbagai instrumen yuridis inter- nasional lain dan kesepakatan internasional yang lain, seperti misalnya United Nations Declaraton on the Rights of Indigenous Peoples.

Hal tersebut sangatlah wajar mengingat selama ini hutan dan kehutanan merupakan sistem penopang kehidupan (life support system) masyarakat adat namun pada tataran kenyataan manajemen pengelolaan hutan tidak memberikan ruang keterlibatan masyarakat adat yang ada didalamnya.

Beberapa fakta menarik lain ditemukan bahwa selama ini kebijakan nasional ter- kait strategi adaptasi menghadapi perubahan iklim bernafas sentralistik (top down policy), indicator  yang memperkuat fakta tersebut antara lain (1) Tidak adanya kelompok kerja mengenai langkah-langkah adaptasi masyarakat adat dan komunitas setempat pada tingkat lokal; (2) Ketiadaan dana masyarakat adat bagi perubahan iklim dengan komponen untuk pendanaan kegiatan persiapan atau kegiatan pembangunan kapasitas masyarakat adat untuk REDD; (3) Minimnya keterlibatan tokoh kontak masyarakat adat ke dalam de- legasi pemerintah untuk setiap pembahasan isu perubahan iklim baik tataran lokal, regional dan internasional; (4) Nihilnya instrumentasi hukum yang mengakomodir kepen- tingan masyarakat adat dalam menghadapi perubahan iklim

Pembabakan Kebijakan Menghadapi Perubahan Iklim

Isu sentral dalam makalah ini adalah harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan na- sional yang hendak dijalankan oleh pemerintah dengan melandaskan kepada kepentingan masyarakat adat sebagai kelompok yang rentan (vulnerable groups) berkaitan dengan adaptasi  menghadapi perubahan iklim. Sebagai permulaan perlu kesepakatan bahwa perubahan iklim (climate change) merupakan bencana global (transnational catastrophe) dalam teritori lingkungan hidup yang merubah kebijakan setiap negara di mana secara tidak langsung berpengaruh juga terhadap kebutuhan legislasi domestik yang diperlukan dengan tetap berpedoman kepada konvensi internasional yang telah disepakati bersama.Dalam kontes teori perbandingan hukum (comparative law), penyesuaian akan kebutuhan seperangkat norma hukum terhadap masalah hukum yang dihadapi dapat me- lalui penggunaan metode transplantasi hukum (legal transplantation). Watson mende- finsikan konsep transplantasi hukum (legal transplantation atau legal borrowing) sebagai “the moving of a rule or system of law from one country to another“. Dalam istilah lain Twi- ning menggunakan tafsir yang lebih luas ‘diffusion of the law’ yang berarti “…diffusion is generally considered to take place when one legal order, system or tradition influences another in some significant way…”, masih menurut Twining24 konsep ‘diffusion of the law’ terklasifikasi menjadi 12 tahapan yaitu “the study of diffusion of law has proceeded under many labels including reception, transplants, spread, expansion, transfer, exports and im- ports, imposition, circulation, transmigration, transposition, and transfrontier mobility of law”.

Perkembangan penggunaan transplantasi hukum (legal transplantation atau legal borrowing) secara teoritik disampaikan oleh Miller25 dipengaruhi oleh dua hal yaitu:

The proliferation of legal transplants has fostered two bodies of scholarship. First, the growth since the 1990’s of state and foundation sponsored law and development pro- jects that see legal reform as a tool for democratization and development has spawned a large literature on legal transplants that describes the many projects and the extent of their success. Second, the increased impact of international law on areas previously regulated exclusively as domestic law, and increased transnational links between government agencies, have led public international law scholars to analyze transplants. Instead of focusing on the direct export of legal regimes between states, this literature examines the use of public international law and emerging global consensus to create transnational law, rules for domestic application that cross state lines.

 Merujuk konvensi internasional terkait strategi adaptasi menghadapi perubahan iklim (climate change), kebijakan domestik yang berbasis kearifan lokal sebaiknya dilakukan menggunakan metode vertical legal transplantation atau trans-echelon legal borrowing dari perjanjian/kesepakatan regional maupun internasional (treaty), pedo- man internasional (guidelines) ke dalam kebijakan domestik, mengingat bahwa masyara- kat adat (indigenous peoples) memiliki tipologi yang berbeda antara satu negara dengan yang lain.

Mengacu pada penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya, dalam konteks na- sional, pembabakan kebijakan domestik berbasis kearifan lokal sebagai strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim, dapat ditempuh melalui lima (tahapan) yaitu:

Tahap Observasi (Observation)

Pada tahap ini difokuskan kepada pengamatan dan pencatatan (baik berupa data yang dikumpulkan pada semua aspek dari sistem iklim termasuk pada fisik, kimia dan sifat biologis dan atmosfer, laut, hidrologi, krysopherik dan proses terestrial) untuk menemukan dampak atribut perubahan iklim baik secara ekologi, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang berhubungan langsung dengan masyarakat adat. Urgensi dari tahap ini adalah mendukung penelitian terhadap peningkatan pemahaman, pemodelan dan prediksi dari sistem iklim dan perubahan iklim yang berdampak kepada mata pencaharian dan ke- berlangsungan masyarakat adat.

Melalui kesepakatan yang telah dijalin sebelumnya, Pemerintah dapat menggunakan data yang diakes dari The World Meteorological Organization (WMO), The Global Ocean Observing System, Global Terrestrial Observing System dan Global Climate Observing System. Sumber-sumber lain dari informasi iklim dan non-iklim yang relevan meliputi: Pusat distribusi data IPCC, Profil UNDP mengenai iklim tingkat negara (termasuk pengamatan dan skenario berbasis model), Portal perubahan iklim Bank Dunia menyediakan data iklim dan iklim terkait cepat dan mudah diakses untuk para pembuat kebijakan.

Tahap Penilaian (Assessment)

Tahapan ini berupa penilaian elemen adaptasi yang mengacu pada praktek yang telah berjalan sukses sebelumnya. Inti dari tahap ini adalah mengidentifikasi pilihan kebijakan yang berbasis tipologi masyarakat adat (yang berbeda untuk setiap daerah) untuk dapat beradaptasi dengan perubahan iklim, dan menentukan elemen-elemen eva- luasi terhadap masyarakat adat dalam hal kriteria seperti ketersediaan sumber daya alam, manfaat, dana adapasi yang dibutuhkan, efektifitas, efisiensi dan studi kelayakan terkait kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.

Setelah elemen penilaian untuk adaptasi terhadap masyarakat adat dapat ter- identifikasi secara terukur, kemudian dilakukan pembahasan secara mendalam oleh para pembuat kebijakan untuk dikonstruksikan ke dalam program/rencana aksi nasional adaptasi.

Tahap Perencanaan (Planning)

Pada fase ini bertumpu kepada penentuan skala prioritas terkait kebutuhan men- desak untuk segera ditindaklanjuti berkaitan dengan adaptasi masyarakat adat terhadap dampak perubahan iklim. Beberapa kajian dari negara lain yang terlah berjalan dengan baik dapat dijadikan referensi dalam menentukan perencanaan.

Penentuan prioritas dapat diperoleh dari pengalaman Provinsi Bara yang terletak di Sudan bagian barat sedang melakukan adaptasi terhadap degradasi tanah dan dampak- dampak lain dari kekeringan yang kembali terjadi melalui Community-Based Rangeland Rehabilitation (CBRR) atau rehabilitasi tanah peternakan berbasis komunitas yang sedang diterapkan di 17 desa. Proyek ini mampu membangun sebuah kantor lokal yang meng- koordinasi masalah pembangunan komunitas, regenerasi dan stabilisasi bukit pasir se- panjang 5 km untuk menghentikan meluasnya gurun pasir, membangun penahan angin untuk melindungi pertanian dari erosi lapisan tanah, dan menggantikan kambing-kambing dengan domba yang lebih punya daya tahan dan kurang merusak, serta mengelola dengan lebih baik sumur-sumur dan persiapan rencana jika terjadi kekeringan.

Hal terpenting lain dalam tahapan ini adalah penentuan skala kerugian secara eko- nomis yang diakibatkan dari dampak perubahan iklim, di mana dimungkinkan dibentuk konsep yuridis tentang kerugian secara materill sebagai proteksi terhadap masyarakat adat dan sumber daya alam yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi (pembangunan, pe- nebangan hutan, dan lainnya).

Tahap Pelaksanaan (Implementation)

Fase ini adalah lanjutan kegiatan dari tahapan sebelumnya yang telah dieksekusi, namun demikian untuk memperkuat kebijakan yang berjalan sesuai rencana yang di- harapkan perlu untuk disusun kerangka hukum (legal framework) yang kuat dalam menjalankan kebijakan adaptasi. Terkait dengan metode vertical legal transplantation atau trans-echelon legal borrowing, pada tahapan ini perlu disusun instrumen hukum yang me- libatkan partisipasi aktif masyarakat adat sehingga diperoleh hasil yang efektif dan efisien.

Mengacu kepada contoh pengadopsian The Precautionary Principle yang dipakai da- lam penegakan hukum lingkungan pada mayoritas negara saat ini, prinsip tersebut pada awal mulanya merupakan budaya hukum masyarakat di Negara Jerman ‘vorsorgeprinzip’ yang kemudian di transplantasikan ke sistem hukum di Negara Inggris, bahkan dewasa ini diadopsi dalam beberapa konvensi internasional terkait lingkungan hidup. Dalam konteks tahapan pelaksanaan ini, dimungkinkan juga pengadopsian kerangka hukum yang relevan sebagai solusi atas masalah yang dihadapi, sebagai contoh dapat dilakukan model per- contohan seperti program yang dijalankan Pemerintah Australia dalam melibatkan Suku Aborigin.

Kesepakatan Pengelolaan Kebakaran Arnhem Barat, pemilik tanah Aborigin, orga- nisasi perwakilan adat di Australia Utara (NAILSMA – Aliansi Manajemen Tanah dan Laut Ma-syarakat Adat Australia Utara) dan Gas Cair Alami Darwin merupakan mitra dalam Kesepakatan Pengelolaan Kebakaran Arnhem Barat. Kemitraan ini bertujuan untuk melak- sanakan praktik manajemen kebakaran strategis seluas 28.000 Kilometer persegi di Arnhem Barat, untuk menurunkan gas rumah kaca yang timbul dari kebakaran di daerah ini dan mengkompensasikan sebagian emisi gas rumah kaca dari pabrik Gas Alami Cair (LNG) di Wickham Point di Darwin Harbour.

Proyek ini menggunakan pembakaran awal yang strategis pada musim kering be- rupa perpaduan antara pembakaran pada sebidang lahan yang dinyalakan oleh masya- rakat dan sekat bakar dalam skala besar di sepanjang jalan, sungai dan anak sungai yang dinyalakan dari helikopter. Pembakaran pada musim kering ini melindungi bentang alam dengan sekat bakar dan nantinya akan membuat api liar lebih sulit tersebar luas dengan cepat di sepanjang tanah.

Tahap Pengawasan dan Evaluasi (Monitoring and Evaluation)

Mengingat kompleksitas dan jangka panjang dari sifat perubahan iklim, adalah penting bahwa kebijakan adaptasi dirancang sebagai proses yang berkesinambungan dan fleksibel, termasuk umpan balik (feedback) melalui monitoring dan evaluasi. Pelaksanaan serangkaian kebijakan tindakan adaptasi perlu dipantau secara berkala, dievaluasi dan direvisi, baik dari segi validitas asumsi ilmiah yang mendasari dan kesesuaian proyek, kebijakan dan program, termasuk efektivitas, efisiensi dan utilitas keseluruhan.

Monitoring dan evaluasi kebijakan tindakan adaptasi, termasuk proyek-proyek, ke- bijakan dan program, dapat dilakukan selama proses adaptasi dan / atau setelah tindakan adaptasi telah dilaksanakan. Pemantauan dan evaluasi kerangka kerja dapat dikembang- kan untuk memastikan tujuan dirumuskan dengan jelas, tujuan dan ukuran keluaran serta ketersediaan data yang berkualitas baik.

Sebagai tahap akhir perlu juga memikirkan akan kebutuhan suplai ilmu pengeta- huan yang memadai kepada masyarakat adat secara berkelanjutan, dimana selain menjaga TEK yang telah diwarisi dari nenek moyang juga bisa diharmonisasikan dengan ilmu pengetahuan moderen guna terwujudnya program adaptasi yang berhasil guna. Sebagai con- toh adalah melakukan kebijakan adaptasi perubahan iklim adalah dengan mengubah pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan yang masih merupakan sistem yang ba- nyak dijumpai dan mendominasi dari warisan leluhur.

Penutup

Masyarakat adat merupakan kontributor terkecil pada perubahan iklim, namun merekalah yang pertama menderita karena dampak-dampaknya. Musim kering yang berkepanjangan, perubahan siklus musim yang tidak terprediksi, mencairnya lapisan es di kutub utara-selatan, meningkatnya frekuensi banjir, peningkatan permukaan air laut, telah mempengaruhi cara hidup, kesehatan, mata pencaharian, tanah, sumber daya alam dan wilayah masyarakat adat secara meng- khawatirkan. Menghadapi semua ini, masyarakat adat telah dipaksa untuk beradaptasi, menggu- nakan pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik yang dimiliki, dengan menyesuaikan diri ter- hadap kondisi-kondisi yang berubah secara sangat cepat.

Pemerintah sebagai pemilik otoritas tertinggi diberikan mandat oleh konstitusi UUD 1945 dalam merumuskan kebijakan yang berbasis kearifan lokal, di mana dalam mengkontruksikan kebijakan tersebut dapat menggunakan metode vertical legal transplantation atau transechelon legal borrowing. Metode ini mengubah kebijakan nasional yang bersifat rigid menjadi lebih luwes dengan tetap memperhatikan dua sisi, yaitu sisi kepentingan masyarakat adat dan sisi konvensi internasional terkait arahan/pedoman kebijakan adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.

Telah  Dipublikasikan  oleh Jurnal :  Cakrawala Hukum